Hampir setiap hari, TV, Koran, majalah serta medsos selalu memberitakan seputar kenegatifan Jokowi. Yang paling istikomah dalam pemberintaan negative, yaitu lawan politiknya yang keok dalam pilpres 2014. Atau mereka yang tidak mendapatkan jatah. Juga, sebagian dari orang-orang Islam yang tidak sefaham dengan Jokowi, ikut serta mengkritik habis-habisan. Ternyata, mereka juga bagian partai politik yang keok dalam pertarungan pilpers.
Untung saja, kabinet Jokowi di dukung penuh oleh orang-orang NU, baik yang duduk di PPP, maupun PKB. Sampai-sampai PBNU meminta kepada keder-kader yang duduk di cabinet kerja, harus serius, dan totalitas di dalam bekerja untuk bangsa dan Negara.
Elemen Golkar yang dipecat, seperti Nusron Wahid juga menjadi bagian penting dari pemerintahan Jokowi. JK, di samping orang NU, beliau juga pernah menjadi ketum Golkar. Beberapa orang Muhammadiyah kutural juga duduk di Kabinet Jokowi, seperti; Menteri kesehatan, dr. Muluk, dan politis dari Hanura. Walhasil, Jokowi itu memang Ok.
Harus diakui, tidak semua wong NU suka dengan Jokowi. Lihat saja, NU garis lurus juga tidak suka dengan kiprah Jokowi, karena di anggab kurang berfihak pada syariat islam. Wal hasil, baik NU garus lurus, PKS, salafi, PPP, PAN, yang sering dan suka mengecam sebagian besar memang tidak mendapatkan jatah di cabinet kerja Jokowi, atau keok dalam pilpres 2014.
Sudah menjadi rahasia umum, orang yang tidak suka dengan Jokowi, selalu menggunakan semua cara, seperti; perang badar, sinting, komunis, keturunan china. Tujuan utamanya ialah, agar Jokowi tidak bisa menjadi Presiden RI. Tetapi, namanya juga takdir, walaupun dengan cara merendahkan Jokowi dengan istilah-istilah “sinting, komunis”, tetap saja menjadi Presiden RI.
Ketika BBM naik, seorang teman yang bermukim di Arab Saudi mengkritik habis-habisan terhadap Jokowi. Wajar, dan memang harus dikritik, karena memang langkah Jokowi menaikkan BBM itu tidak menguntungkan rakyat bawah, alias tidak populis. Orang PDIP juga tidak setuju. Ketika demo-demo di mana-mana, Jokowi-pun mengatakan “bukan urusan saya”.
Ada juga yang membandingkan Pemerintahan RI yang serba mahal, dengan Kerajaan Arab Saudi yang serba murah. Sesungguhnya, ketika membandingkan dengan pemerintah Arab Saudi, tidak sebanding, baik jumlah penduduknya, maupun kekayaan yang dimilikinya, serta system pemerintahanya.
Ada yang mengatakan:”Di Arab Saudi semua serba murah, rakyat benar-benar mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah”. Lihat saja, harga BBM jauh lebih murah dengan air mineral, begitu juga dengan kebutuhan pokok lainya. Bahkan setiap warga memperoleh jaminan kesehatan yang cukup dan memadai”. Sementara Indonesia semua serba mahal, air mahal, bbm mahal, bahkan ibadah haji-pun juga mahal dan antrianya juga lama.
Ketika membincangkan seputar kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang begitu murah terhadap rakyatnya. Kemudian saya katakan kepadanya:”yang mahal di pemerintahan Saudi Arabia adalah mengemukakan pendapat”. Sementara di Negeri Indonesia sangat murah mengemukakan pendapat.
Lihat saja, materi khutbah, ceramah, pengajian, kurikulum pendidikan, bahkan para pengajar di Masjidilharam harus dipantai setiap hari, agar jangan sampai bersingungan dengan kebijakan pemerintah. Sedikit saja, bersingungan, selamanya tidak akan bisa mengajar, bahkan bisa jadi selamanya tidak akan bernafas.
Begitu juga dengan siaran telivisi dan radio harus sesuai dengan ke-inginan pemerintah. Bahkan, untuk menulis artikel dan makalah, risalah Majister, disertasi harus di atur juga, jangan sampai bersinggungan dengan kebijakan pemerintahan Arab Saudi.
Tidaklah berlebihan jika kemudian masyarakat, agamawan, mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali berkutat pada urusan-urusan “bidah”. Apa-paun materinya, pasti “bidah” tidak ketinggalan. Wajar, jika kemudian banyak sarjana-sarjana lulusan Timur Tenggah (Arab Saudi), berpendapat “politik itu bidah” demonstrasi itu “bidah” dan mengkritik kebijakan pemerintah itu termasuk “bughot (pembangkangan).
Semua mengatakan bahwa segala amal perbuatan yang tidak ada dalil dari Al-Quran dan hadis di tolak (bidah). Jika memaksakan mengemukakan pendapat dengan cara demontrasi, berarti telah melakukan bidah (mengada-ngada) dan Nerakalah tempatnya.
Di Indonesia, BBM memang mahal. Sampai-sampai, BBM itu di artikan dengan “bolak balik munggah”. Semua kebutuhan pokok melangit, sehingga mencekik kaum alit, dan hidup mereka semakin sulit. Sementara kaum elit, semakin hari semakin bertambah melejit, karena nilai kekayaanya semakin tinggi. Ini sebuah realitas yang tak terbantahkan.
Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat Indonesia, mulai tingkat elit sampai alit ada kenikmatan yang amat luar biasa, sekaligus pembeda antara Indonesia dan Arab Saudi, yaitu “kebebasan berpendapat”. Dulu, yang bisa menjadi pejabat, hanya kelompok elit (priyayi) dan bangsawan, serta orang-orang kaya (berduit), dan memiliki hubungan darah biru. Keturunan tionghoa dikucilkan, santri di anggab pingiran, rakyat jelata selalu ter-abaikan.
Sekarang telah berubah, setiap orang bisa bercita-cita menjadi seorang Menteri, Gubernur, Bupati, ketua MPR, DPR, bahkan bisa juga menjadi seorang Presiden Republik Indonesia.
Terpilihya Jokowi menjadi presiden RI, telah mengispirasi jutaan masyarakat Indonesia yang berasal dari pedesaan. Seorang Ibu akan mengatakan kepada putra-putrinya “ Wahai anakku, suatu ketika engkau bisa menjadi presiden RI, walaupun saat ini kita hidup melarat, lihat itu Jokowi, yang terpenting sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah SWT”.
Di Indonesia, seorang menteri bisa mengkritik dan dikritik, itulah demokrasi. Seorang tukang sampah-pun bisa bisa mengkritik kebijakan Presidenya. Tidak ada yang bisa menghalangi cita-cita seseorang untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Sementara di Arab Saudi, rakyat kecil selamanya tidak akan mungkin menjadi seorang pemimpin.
Dalam sebuah tulisan di kompasiana, pernah saya menulis sebuah artikel yang beerjudul “Jokowi: Petruk Jadi Ratu”. Saat ini Jokowi telah menjadi seorang pemimpin, dia memiliki kebijakan. Dulu Jokowi tersingkir, bahkan rumahnya harus di gusur. Karena memang kawula alit yang hidupnya selalu terhimpit, dan tidak memiliki duit.
Saat ini, kawula alit menunggu kebijakan-kebijakan Jokowi yang berpihak kepada masyarakat kecil, seperti; sekolah murah berkualitas, kesehatan gratis, tempat tinggal juga murah. Jangan lupa, negera Indonesia juga butuh kuat, maka sebagai Negara maritim memerlukan kapal selam, dan pencuri-pencuri ikan harus di usir dari perairan Indonesia.
Kawula alit juga berharap, pancung itu Bandar-bandar Narkotika. Jangan beri ruang sedikit-pun terhadap mereka. Kawula alit itu sudah resah dan gelisah dengan peredaran narkotika hingga ke desa-desa, bahkan seorang professor-pun harus nyabu bersama mahasiswinya. Betapa hancurnya negeri ini karena Narkotika.
Kawalu alit, sekarang ingin menyaksikan karuptor-koruptor itu sejajar dengan Bandar narkotika. Sebab, mereka seperti lintah darat yang menghisap darah kawula alit yang setiap bulan membayar pajak. Tidak lupa, ciptakan ke-amanan dan kenyamanan, karena itu salah satu kebutuhan pokok setiap warga Negara.
Jika Jokowi tidak bisa memberikan, keamanan dan kenyamanan terhadap masyarakat. Juga tidak bisa memberikan hukuman mati terhadap Bandar narkotika, dan juga terhadap koruptor. Maka rakyat akan mengatakan “ ga ono bedane”. Rakyat menunggu janjimu, sekarang rakyat tidak butuh “blusukanmu” lagi. Sekarang sudah waktunya bertindak, berbuat untuk rakyat, pancung gembong perampok, penjahat, narkotika, dan humum mati kuruptor di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H