Beberapa minggu yang lalu, jagad medos digegerkan oleh sebuah tuitan Dubes Arab Saudi yang sedikit menyinggung perasaan warga NU. Salah satu badan organisasi di bawah NU, yaitu Banser di anggab "Munkhorif" karena telah melakukan pembakaran bendera tauhid. Dalam tuit yang berbahasa Arab itu Dubes Arab Saudi seolah-oleh setuju dengan gerakan radikalisme yang sedang dihadapi oleh pemerintah Indonesia.
Gegera tutan itu, Said Aqil Siradj selaku PBNU Pusat memberikan tanggapan sangat keras terhadap pernyataan Dubes Arab Saudi untuk Indonesia. PBNU menganggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Ini sangat berbahaya. Apalagi hubungan Indonesia sedang mesra-mesranya dengan Arab Saudi.
 Sangat wajar, jika kemudian banyak tuitan yang meminta agar sang Dubes di usir dari bumi Nusantara. Muncullah beberapa analisa, bahwasanya Arab Saudi memang sedang bermain dua kaki. Ada juga yang berkata "Saudi telah menunjukkan sikap yang kurang ajar kepada NU".
 Anggapan itu sangat wajar dan tidak berlebihan, mengingat sejak awal NU satu-satunya Jamiyah yang berseberangan dalam masalah teologi. Di mana Arab Saudi mengikuti teologi Wahabi dengan Mazhab Imam Ibn Hambal, sementara NU mengikuti teologi Asaary dengan Mazhab Al-Syafii yang cenderung menyukai dunia sufi. Sampai kapan-pun, Wahabi tidak akan mengakui tasawuf. Syirik, bidah selalu di semat kan kepada warga NU.
Nah, ketika situasi semakin panas, saya hanya bisa menganalisis bahwa hubungan Indonesia hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan ala Santri Al-Nahdiyin. Bukan berarti yang lain ngak bisa. Santri itu selalu memiliki cara terbaik untuk menyelesaikan setiap persoalan, baik melalui pendekatan diplomatik. Bahkan, pendekatan fisik-pun, santri sudah terbiasa. Dalam, hal ini, pendekatan santri sangat efektif.
Sesuai dengan filosofi sarung, maka seorang santri akan bersikap longgar (bijaksana) fleksibel. Begitu juga dengan busana Santriwati NU-Santara yang tidak tertutup rapat (memakai cadar), juga beragam warnanya. Tetapi begitu kuat di dalam prinsip dalam beragama. Â
Dubes Indonesia untuk Arab Saudi adalah santri deles yang memahami filsafat bahasa Arab dengan baik, juga memahami filosofi sarung. Jadi, pendekatan budaya, jauh lebih mudah mencairkan suasana dari pada menggunakan pendekatan senjata. PBNU hanya bertugas menekan, tetapi ngak usah demo berjilid-jilid. Masalah beginian menjadi mudah, hanya melalui meja makan. Meminjam istilah Gus Dur "gitu saja kok repot".Â
Ternyata, analisa saya menjadi nyata. Yenny Wahid, salah satu putri Gus Dur mampu menyelesaikan masalah ini tanpa masalah. Pendekatan Santriwati ini benar-benar cantik, membuat Dubes Arab Saudi untuk untuk Indonesia klepek-klepek. Dalam video singkatnya, Dubes itu berkali-kali bersumpah dengan mengatakan "demi Allah, saya mencintai NU". Meminta maaf atas perilakunya yang tidak santun (kurang ajar) kepada NU.
Bisa jadi, ini menjadi pintu agar lebih mudah memasuki Arab Saudi lebih dalam, sehingga Arab Saudi semakin tergantung dengan NU. Ketika Raja lebih dekat dengan NU, maka secara otomatis rakyatnya akan mengikutinya, sebagaimana pepatah Arab "masyarakat itu akan mengikuti agama raja-raja mereka". Ketika raja bertitah, masyarakat hanya memiliki dua pilihan, ikut atau di penjara. Begitulah sistem kerajaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H