Ada yang menarik pada Pilgub Jatim kali ini. Isu Syiah dan PKI sudah tidak serenyah setahun lalu. Orang pun saling melontarkan pertanyaan, "Kok isu itu tidak ada lagi? Ada yang mencoba menjawab dengan singkat dan padat, "Karena PKS sudah kolaborasi dengan PDI". Ketika mendengarkan jawaban singkat itu, kepala pun manggut-manggut.
Namun, ada yang bersyukur dengan kondisi seperti ini. Sebab, PKS yang antipati dengan PDIP, sekarang sedang mesra, walaupun ngakunya tidak kolaborasi, tetapi memang mendukung "Gus Ipul". Kali ini, PKS kayak remaja yang sedang jatuh cinta kepada gadis yang dibencinya. Mau bilang cinta malu, tetapi kalau tidak ketemu sehari saja, muncul rasa rindu. Orang bilang, benci tapi rindu.
Apapun partainya, pasti yang diuber itu kekuasaannya. Jadi, tidak ada kawan setia, dan juga tidak ada musuh abadi. Gus Dur sang Pendiri PKB saja harus kalah dan ngalah dengan anak buahnya. Dulu, Partai Keadilan, sekarang Partai Keadilan Sejahtera. Dulu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sekarang menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Walhasil, dalam politik, apapun bisa terjadi, dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya.
Nah, sekarang akan membincangkan warga Jawa Timur. Bagi orang Jawa Timur, khususnya warga NU, berbeda pendapat dalam politik sudah biasa, apalagi urusan Pilgub malah terbiasa. Walaupun, Gus Ipul dan Ibu Khofifah kalau ketemu sedikit malu-malu. Barangkali, dalam hatinya keduanya berkata, "Kita akan buktikan siapa yang layak mendapat kepercayaan dari warga Jawa Timur".
Para sesepuh dari Kyai NU, hendaknya memang bisa ngemong rakyatnya, bukan ikut serta dukung-mendukung. Sudah bukan zamannya, sesepuh NU ikut-ikutan politik dalam masalah Pilgub Jatim. Kalau bisa, sesepuh NU istighosah dan wirid, kalau perlu khataman 7 hari 7 malam, mendoakan agar keduanya mendapat yang terbaik.
Orang-orang sering bilang, "Gus Ipul karo Ibu Khofifah podo ae, podo NU-nya. Siapa pun yang menang, pasti NU yang menang."
Kemudian ada yang bertanya, "Terus ngapain Kyai-kyai dukung mendukung, kalau sudah ngerti, yang menang nantinya NU. Apalagi sampai ngajak santri-santri ikutan nyanyi yel-nyel dukung salah satu pasangan. Kan lucu...! Maklumlah, Kyai NU kalau tidak berpolitik, rasanya kurang legit. Walaupun sepakat pada khittah, tetapi semua sepakat untuk mengingkari. Kaya lagu Rhoma Irama, kau yang berjanji, kau yang mengingkari".
Jika yang menang dalam Pilgub Jatim itu pasangan Khofifah dan Emil Dardak, sudah pasti, 1000 % Muslimat NU-Santara akan bahagia. Bahkan yang sedang asam urat dan kolesterol pun, pasti akan tasyakuran atas kemenangan Ibu Khofifah. Wajarlah, karena memang Ibu Khofifah itu ibunya Muslimat Nusantara.
Namun, jika yang memenangkan pilgub itu pasangan Saifullah Yusuf dan Puti, kaum Ansor juga pasti pasti senang. Karena junjungan mereka berhasil menang. Ansor dan pendukungnya biasanya akan tasyakuran atas kemenangan itu. Yang kolesterol pun juga lupa dengan sakitnya, sehingga makan apa saja yang dihidangkan dalam tasyakuran itu.
Tapi, jika terlalu bahagia dulu ya. Jika pendukung Gus Ipul menang, dan ngilok-ngilokne (membully) pasangan Khofifah yang kalah, maka bapak-bapak Ansor dan pendukungnya akan sengsara. Kok bisa? Pasti Muslimat Nusantara, khususnya yang di Jawa Timur sepakat akan nyapeh (tidak dikasih jatahnya) bapak-bapak NU sementara waktu, selama hatinya masih sakit. Padahal, yang paling susah dalam kehidupan pria itu ketika istrinya menyapehnya di malam hari.
Sebaliknya, jika Khofifah menang. Bapak-bapak NU justru akan merasakan bahagia kwadrat. Bagaimana tidak, pasti ibu-ibu Muslimat akan bahagia. Efeknya, suaminya akan semakin dimanjakan. Ini hanyalah sebuah ilustrasi, hehe...