Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lestarikan Tradisi Baju Baru, Ucapan Selamat dan Silaturahmi Halal Bihalal

2 Juli 2016   14:35 Diperbarui: 3 Juli 2016   10:56 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang kampung usai menunaikan sholat Idul Fitri biasanya langsung  mendatangi kedua orang tuanya. Ada juga yang mendatangi kedua orang tuanya pada malam takbiran. Kemudian mereka mencium tangan kedua orang tuanya, seraya mengatakan, “Ngaturaken sedoyo kelepatan kawula, lahir dan batin”. Kemudian orang tua menjawab dengan lirih, sambil berlinang air mata seraya mengatakan ,“Begitu juga aku, sebagai orang sudah pasti banyak kesalahanya, juga minta maaf lahir dan batin”. Kemudian orang tua membisikkan sebuah doa, “Semoga kamu dan keluargamu dijadikan keluarga sakinah, mawaddah warahmah, rejeki berkah dan melimpah”. Seketika itu sang anak mengucapkan amin.

Tradisi yang beginian disebut dengan “sungkeman” yang tidak pernah ada di dalam Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Karena tidak ada di dalam Al-Quran dan hadis, maka ada segelintir orang mengatakan, “Itu tradisi tidak sesuai dengan sunnah Rosulullah, dengan kata lain “bidah”. Bidah berarti sesat. Itu pendapat yang tidak setuju terhadap tradisi sungkeman.

Bagi yang setuju, mereka berkata, “Rupanya tradisi muslim Nusantara begitu indah nan memesona. Seorang anak datang dari jauh demi memohon maaf kepada kedua orang tua. Ketika sudah sampai ke kediaman orangtuanya, mereka merunduk kepala dan mencium tangan kedua orangtua, kemudian meminta maaf atas segala slah dan khilafnya”. Kemudian mencium tangan dan dan memeluknya. Inilah namanya tradisi yang sesuai dengan subtansi ajaran Rosulullah SAW, yaitu meminta maaf lahir dan batin atas segala khilafnya selama ini.

Kalau tradisi orang Sumatera mungkin berbeda dengan orang Jawa, begitu juga dengan orang Madura, Sunda, Kalimantan, Bali, Papua, NTT. Masing-masing memiliki tradisi yang berbeda, bahasa yang berbeda di dalam menyatakan permintaan maaf kepada kedua orang tuanya atau sesama. Rosulullah SAW pernah berkata: Tiap-tiap anak Adam itu pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah mengakui kesalahannya (taubat) (HR Al-Tirmidzi).

Bagi orang Persia, barangkali cara meminta maaf berbeda dengan orang Arab. Begitu juga dengan India, juga berbeda dengan orang Eropa dan Amerika. Yang terpenting itu substansinya. Orang India, Indonesia, Jepang, China, Eropa, Amerika tidak harus meminta maaf kepada sesama dengan menggunakan tradisi Arab dan juga tidak harus memakai bahasa Arab. Barangkali, ini yang dimaksud dengan dawuhe kanjeng Nabi Muhammad SAW: “Kalian lebih mengerti dengan masalah dunia kalian”.

Saat ini beredar artikel seputar larangan mengucapkan “mohon maaf lahir dan batin” kepada sesama. Alasanya, tidak sesuai dengan sunnah Rosulullah SAW. Dengan kata lain “bidah”. Apalagi di tambah dengan, “Minal aidzin wal faizin” yang nyata-nyata tidak ada dasar dalilnya dari Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW. Menurut artikel yang beredar, yang benar itu “ تقبل الله منا ومنك “, karena bersandar pada sebuah hadis. Hanya saja tahniah (ucapan selamat) terkait dengan Hari Raya Idul Fitri itu ditemukan pada hadis shahih Bbukhori dan Muslim. Dengan demikian, keshohihan hadis tersebut diperlukan kajian lebih mendalam.

Dengan demikian, maka akan sangat tidak tepat jika kemudian menyalahkan, apalagi menyesatkan orang yang mengucapakan, “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Karena substansi dari ucapan tersebut adalah doa kebaikan kepada yang bersangkutan. Lagi pula tidak ada teks, baik dari Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW mendoakan atau mengucapkan selamat Idul Fitri menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, Urdu. Yang tidak boleh itu, tidak mengucapkan tahniah atau tidak meminta maaf ketika Idul Fitri.

Dalam tradisi merayakan Hari Haya Idul Fitri, sebagian masyarakat muslim dunia dan Nusantara selalu berlomba-lomba memakai baju baru. Pokoknya semua serba baru deh. Rasanya kurang afdah, merayakan hari raya tanpa menggunakan busana baru. Memang tidak ada larangan membeli baju baru. Yang menjadi kritikan sorotan ialah, memakai baju baru, tetapi ketaatan ibadah kepada Allah SWT tidak berubah. Sebuah syair Arab mengatakan: Idul Fitri itu bukan ditandai baju baru, tetapi Idul Fitri bagi orang yang ketaatannya bertambah.

Sekali lagi, tidak ada larangan satupun merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan baju baru. Justru, anjuran dan tuntunan agama agar memakai baju yang bagus ketika sedang akan menunaikan sholat, baik itu sholat wajib maupun sholat sunnah di Masjid. Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid (QS Al-A’Raaf (7:31)". Atas dasar itu, maka memakai baju bagus di dalam melaksanakan sholat di masjid merupakan sebuah keniscayaan. Idul Fitri, itu sholat sunnah tahunan, maka memakai baju yang bagus (baru) juga tidak dilarang. Hanya saja, tetap harus sopan sesuai dengan etika, dan tertutup auratnya.

Tradisi silaturahmi dari rumah ke rumah, muslim Nusantara memang benar-benar luar biasa. Jika melihat di luar Negeri, seperti Arab Saudi dan Jazirah Arabiyah, mereka hanya merayakan hari Idul Fitri dengan family. Ketika di Indonesia, maka silaturahmi itu bersifat menyeluruh, antara family yang dikemas dengan Halal Bihalal. Kemudian dengan teman dan kolega. Sedangkan tradisi bersilaturahmi dengan tetangga menjadi sesuatu yang mengagumkan. Saling memaafkan antara tetangga dan kerabat, dan saling mendatanginya. Tradisi seperti ini tidak ditemukan di masyarakat Arab pada umumnya. Apalagi, setiap institusi, baik swasta maupun negeri, seperti; bank, kampus, perusahaan, atau keluarga besar selalu berusaha mengadakan Halal bi Halal yang di dalamnya silaturahmi collective (berjamaah) dengan tujuan saling memaafkan. Maka, budaya Halal bi Halal sudah sesuai dengan nilai-nilai yang ajaran Islam. Perlu dilestarikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun