Pada jaman pemerintahan Suharto yang identik dengan dictator, kekerasan, semua proses pemilihan pemimpin dengan cara tertutup tidak terbuka seperti Muktamar NU. Masyarakat tidak boleh mengintipnya, apalagi meminta untuk dibuka. Dengan demikian, proses pemilihanya pasti mudah dan gampang, juga tidak akan gaduh. Karena tidak perlu adu argumentasi dan gagasan, karena semua sudah siap dan tinggal diketok palunya. Bahkan, para pemilihnya cukup mangut-mangut saja, sudah selesai (kurang kreatif dan kurang inovtif).
Kita bisa melihat proses pemilihan penganti Rosulullah SAW, dimana para sahabat berkumpul di Bani Tsaqifah. Masing-masing ingin mengajukan seseorang untuk menjadi penganti Rosulullah SAW. Mereka adu argementasi dengan keras (sedikit gaduh), tetapi mereka tetap memilih pemimpin penganti Rosulullah SAW berdasarkan ilmu, pengalaman, serta senioritas. Ahirnya, Abu Bakar ra, kemudian terpilih menjadi seorang penganti Rosulullah SAW. Sejak saat ini, element sahabat yang berbepda pendapat saling berangkulan, melupakan kegaduahan yang dilakukan.
 Semoga, NU tidak lagi bermuktamar di lapangan seperti sekarang ini, tetapi kembali ke Pondok Pesantren sebagaik tempat ngaji dan mendalami kitab suci Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Semoga, partai politik tidak lagi ikut serta dalam perhelatan Akbar lima tahuan. Semoga kegaduan itu berubah menjadi rahmat, berkah, menyadarkan kembali bahwa NU itu organisasi yang didirikan ulama dan wali. Tujuan utamanya yaitu menjaga Aqidah Ahlussunah Waljamaah sesuai dengan ajaran Rosulullah SAW, sahabat, dan ulama sebagai pewaris Nabi.
Â