PDI pernah menjadi dua, kubu Megawati dan subu Suryadi. Agar supaya tetap berbunyi PDI, maka pimpinan tertinggi PDI menabah huruf “P” yang artinya “perjuangan”. Begitu juga dengan benderanya yang berlambang banteng di tambah dengan “moncong putih”. Pecahnya PDI itu karena memang adanya intervensi pemerintahan Soeharta yang tidak ingin PDIP kuat dan solid. Dengan cara memecah inilah ahirnya PDI harus berjuang mati-matian dan bedarah-darah agar mendapat simpati rakyat.
PKB pernah menjadi dua juga. PKB Gus Dur dan PKB Muhaimin. PKS-pun sebagai para paling suci di negeri ini, juga pernah terlebah menjadi dua. Perpecahan PSK mirip dengan PDI, yaitu ditambah huruf “S” yang artinya sejahtera. Agar lebih keren dan mantab, maka benderanya-pun juga ditambahi, agar berbeda dengan Partai Keadilan.
Sementara PPP juga tidak kalah, ikut-ikutan pecah menjadu dua, karena SDA mendukung Prabowo dan sebagian mendukung Jokowi. Tidak main-main, para pendukungnya, seperti; Abu Rizal Bakri, Prabowo, Anis Matta, Hatta Rajasa, dan Mbah Amin Rais datang. Amin Rais stu-satunya guru politik yang tidak pernah menang dalam pemilihan prisiden juga memberikan sambutan agar supaya terlihat lebih wah atau keren.
Sekarang, Golkar, paratai paling tua, paling kaya, paling banyak SDMnya, paling banyak jaringanya, dan paling pinter memainkan peran juga mulai terbakar. Biasanya, terbakaranya parati Golkar melahirkan partai baru. Dengan kata lain, membawa berkah bagi elit politiknya. Sebuat saja, wiranto gara-gara berbeda pendapat dengan senior-senioranya, ahirnya mendirikan Hanura. Surya Paling juga demikan, tidak cokok dengan senioranya ahirnya mendirikan Nasdem. Begitu juga calon presiden Prabowo juga lulusan akademi partai politik Golkar. Ahirnya mendirikan “Gerindra”. Satu lagi, partai milik Sutiyoso.
Perpecahan dalam dunia partai itu sudah biasa, apalagi tidak satu-pun partai politik di dunia ini yang berniat karena Allah SWT. Kalaupun ada partai politik yang menggunakan agama, maka itu bagian dari intrumen agama yang ingin mewarnai politik. Politik itu rentang dengan urusan duit (dunia), wanita, dan kekuasaan. Jangan heran jika ada politisi itu duitnya banyak, kemudian memiliki istri dimana-mana, seperti politis PKS; Lutfie Hasan Ishaq yang suka poligami. Poligami itu boleh dan sah, selama tidak menyakiti wanita. Tetapi, jika poligami itu dilakukan karena ingin menjadi kolektor wanita, tentu saja tidak etis. Apalagi, mengumpulkan duit haram, untuk maskawin dan untuk menghidupi istri-istrinya maka itu suatu ke-dholiman dalam poligami.
Lambing Gokar, yaitu pohon beringin memiliki filsafat yang tinggi dan mulia. Siapa-pun yang ingin tidak kehujanan, dan tidak kepanasan, maka berteduhlan di bawah pohon beringin. Dijamin nyaman. Semakin besar pohon beringin, akan semakin banyak memberikan keteduhan bagi siapa-pun yang berteduh di bawahnya. Cukup banyak organisasi, partai-partai kecil yang berteduh di bawahnya.
Salah satu kekutan KMP (Koalisi Merah Putih) itu karena ada Golkar di bawah naungan ARB yang memiliki Viva, TV One, Antv. Juga, duitnya yang sangat banyak, sehingga bisa berbuat apa yang dengan modal yang di milikinya. Lihat saja, tokoh-tokoh golkar, seperti; Akbar Tanjung, ARB, Jusuf Kalla, Agung Laksono, Fadil Muhammad, Idrus Marham, serta tokoh elit muda lainya. Golkar itu teramat kuat untuk dikalahkan. Tetapi, jika sudah terbakar, semua orang yang berteduh di bawahnya akan berhamburan untuk menyelamatkan dirinya, keluarga, harta benda, serta semua asset penting lainnya.
Tidak aneh jika kemudian KMP akan ikut terbakar dan bubar, karena Golkar terbakar. Sebaliknya, KIH semakin kuat dan kokoh. Bisa jadi, sebagian pelarian dari kebakaran itu berlabuh pada KIH. Siapa-pun orangnya, jika rumahnya kebakaran, maka ia tidak akan sempat memikirkan rumah orang lain. Apalagi ada hembusan angin begitu kencang, sehingga api semakin membara dan membakar semua pohon, dahan dan rating pohon beringin. Semakin membara, maka akan semakin banyak orang yang berlari ingin menyelamatkan diri, dan mencari perlindungan.
Semoga, kebakaran itu semakin reda. Golkar terbakar, bukan karena sahwat politik tidak tersalurkan, serta bukan juga karena beda pendapatan, tetapi murni karena perbedaan pendapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H