[caption id="attachment_120875" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Sebagai salah satu rumah khas tradisional asal Tanah Papua, Honai memang tergolong unik. Selain menjadi istana pemberi kenyamanan bagi penghuninya, di dalam Honai pun terkandung nilai-nilai filosofis budaya yang tinggi.
[caption id="attachment_118268" align="alignnone" width="423" caption="Honai tradisional di Papua"]
Secara umum honai merupakan rumah adat tempat bermusyawarah untuk kepentingan mengadakan pesta adat dan perang suku. Honai bagi kaum perempuan disebut “Ebeai,” yang terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah. Nama honai laki-laki dalam bahasa Lani disebut “ap inakunu” dan honai perempuan disebut “kumi inawi.” Orang Lani mempunyai tiga honai, yakni honai bagi kaum laki-laki, honai perempuan dan honai yang dikhususkan untuk memberi makan atau memelihara ternak seperti babi.
Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan miring bahwa masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama ternak babi di dalam honai mereka. Sebab ada honai yang dibangun khusus untuk memelihara babi.Dari modelnya, honai sering dibangun berbentuk bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah (dome) di tutup dengan alang-alang. Garis tengah (diameter) mencapai 5 sampai 7 meter, tergantung tujuan pemanfaatannya. Honai bagi kaum perempuan, bentuknya lebih pendek.
Pada ruang bawah honai laki-laki dewasa biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan, diskusi, berdemokrasi,berdialog dan berdebat mengenai perang, kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi pengalaman dan memikirkan tentang kesinambungan hidup. Selain itu, digunakan pula sebagai tempat penyimpan harta benda, termasuk menyimpan mumi (mayat yang diawetkan) bagi suku Dani, dan fungsi-fungsi lain sesuai kepentingan pemiliknya. Sedangkan pada ruang atas sering digunakan sebagai kamar tidur.
Honai laki-laki biasanya tidak bisa dimasuki (ditempati) oleh kaum perempuan atau orang-orang tertentu. Sebab disinilah tempat berlangsung inisiasi dan pendidikan bagi kaum laki-laki muda yang akan beranjak dewasa. Sedangkan honai bagi kaum perempuan biasanya dikhususkan bagi ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki yang masih kecil. Seperti honai pria, pada honai perempuan juga akan berlangsung proses pendidikan secara terus-menerus bagi anak-anak perempuan.
Disinilah tempat para ibu mengajarkan hal-hal yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Keberadaan honai perempuan bagi anak-anak lelaki yang masih kecil hanya bersifat umum, sehingga setelah mulai beranjak remaja mereka akan berpindah ke honai laki-laki. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan honai biasanya berupa rotan, tali hutan, alang-alang, belahan kayu atau papan yang digunakan sebagai dinding dan kayu khusus untuk tiang penyangga. Tali hutan khusus dan rutan akan digunakan sebagai pengikat.
Tokoh gereja yang juga intelektual Papua asal pegunungan tengah, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dalam bukunya “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri,” menjelaskan bahwa honai biasanya tidak dibangun pada sembarang tempat atau di tempat terlarang. Misalnya di daerah rawan longsor (bencana), daerah berkebun, kawasan hutan lindung atau tempat lain yang dilarang untuk membangun rumah. Menurutnya, nenek moyang masyarakat di wilayah pegunungan tengah Papua biasanya tidak ceroboh dalam membangun honai.
Karena yang diperhatikan adalah soal aspek keamanan dan resiko yang bakal dihadapi. Dalam membuat honai, posisi pintu biasanya berada pada arah terbit dan terbenamnya matahari. Pintu itu juga berfungsi demi keamanan penghuninya jika ada serangan tiba-tiba dari musuh atau kebakaran. Boleh dibilang bahwa sejak awal honai telah menjadi tempat tinggal tetap bagi nenek moyang suku Dani. Ini kemudian bisa menghambat perpindahan mereka dari satu wilayah ke wilayah lain.
Homese
Honai Menuju Sehat, atau yang dikenal dengan istilah Homese, merupakan hasil inovasi dan terobosan dalam seni arsitektur modern. Konsep Homese ini tidak meninggalkan bentuk, manfaat dan nilai-nilai filosofis honai secara alami. Pengembangannya hanya dengan meningkatkan teknik konstruksi masyarakat lokal. Dengan alasan bahan-bahan baku pembangunan mudah diperoleh di lingkungan sekitar, maka yang diperlukan hanya memberi nilai tambah secara inovatif.
Tata ruang Homese juga memperhatikan kebiasaan aktivitas masyarakat lokal di dalam honai. Namun lebih dari pada itu, pengembangan Homese dimaksudkan agar tercipta perubahan menuju konsep rumah sehat bagi masyarakat asli di wilayah pegunungan tengah Papua. Disamping ada upaya menuju revitalisasi terhadap kawasan-kawasan yang dianggap bernilai historis. Lewat teknik rekayasa sipil, Homese di desain sedemikian rupa sehingga asap bisa keluar melalui cerobong.
Dalam rumah honai tradisional, umumnya tidak memiliki cerobong (saluran) pembuangan asap hasil pembakaran. Inilah masalah terbesar penyebab gangguan kesehatan pernafasan pada masyarakat lokal yang kini masih mempertahankan honai sebagai rumah tinggal. Karena itu pada tahun anggaran 2010 lalu, Pemda Kabupaten Jayawijaya telah membangun puluhan unit rumah Homese di Kampung Waisapu, Wamena Kota. Model honai serupa juga telah dibangun di Kampung Pasema Kabupaten Yahukimo.
Pembangunan tersebut berlangsung atas kerjasama Pemda setempat dengan Satker Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas PU Provinsi Papua bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Departemen Pekerjaan Umum RI. Dari sisi teknis desain, pada ruang dalam Homese masih mempertahankan tempat api untuk menghangatkan ruangan dengan menambahkan cerobong hinggake lantai atas. Ini agar tercipta sirkulasi udara yang sehat. Disamping suhu hangat dalam honai juga terjaga.
Maklumlah, wilayah pegunungan tengah Papua yang umumnya bersuhu rendah (dingin), telah mempengaruhi proses pembuatan honai harus memperhatikan aspek kenyamanan. Sedangkan pada bagian lain Homese seperti bentuk atap, masih tetap mempertahankan konsep awal. Bagian atap honai berbentuk kubah (dome) itu kini menjadi ikon di mana-mana. Taman Mini Indonesia (TMI) di Jakarta yang dibangun sejak jaman orde baru misalnya, dalam stand Irian Jaya (Papua) juga menjadikan model honai sebagai ikon tersendiri.
Konon, rancangan konstruksi pasar Papua 6 lantai yang akan dibangun khusus bagi seniman dan pedagang asli Papua di tengah Kota jayapura juga mengadopsi bentuk atap honai. Padahal sejak awal honai hanya dibangun pada suatu dusun atau perkampungan. Sangat mengesankan bila melihat perkampungan di wilayah pedalaman Jayawijaya dari atas sebuah bukit. Disini akan tampak rumah-rumah adat honai berdiri dengan halaman yang dikelilingi pagar kayu berhias rerumputan kering.
Honai memang memiliki nilai filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah tempat generasi awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta. Jadi tentu tidak ada kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar tidak cepat tergerus perkembangan zaman. (Julian Howay)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H