Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karma

10 Mei 2017   22:12 Diperbarui: 10 Mei 2017   22:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi). 

Sungguh benar yang disampaikan Rasulullah saw. Alkisah, seorang ibu muda yang bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah PAUD mendapati dalam dua kali acara besar sekolah, yang mana saat itu orangtua dan anak seharusnya berpartisipasi, terdapat dua siswa kakak adik yang selalu tanpa orangtua mereka. Dalam acara camping pertama, saat anak-anak lain berlari mencari kado yang disebar guru di beberapa tempat, dua kakak adik ini terduduk lesu di pintu salah satu kelas. Keduanya bahkan tidak membawa kado yang dipesankan guru mereka. 

Pada acara kedua lebih kurang demikian pula. Tenaga administrasi yang melihat kejadian itu pada kali kedua merasa miris. Sesibuk apa orangtua anak-anak ini? Tidakkah mereka berpikir anak-anaknya merasa sedih, melihat teman-teman mereka bergembira bersama ayah atau ibu, bahkan ada yang datang ayah dan ibunya sekaligus. Apakah karena pekerjaan, lalu membiarkan anak-anak mereka seperti tak berharga? Lalu untuk apa uang yang mati-matian mereka cari itu? Benar-benar orangtua durhaka, pikir sang admin saat itu. 

Pada tahun ke-tujuh tenaga administrasi itu bekerja, ia memutuskan berhenti untuk membuka usaha sendiri. Karena jarak yang jauh dengan tempat tinggal, anak sulung yang sebelumnya sekolah di TK tempat ia bekerja dulu, ia pindahkan ke TK yang lebih dekat dengan rumah. Kegiatan di sekolah baru tidak sebanyak di tempat lama. Di TK yang sekarang, sehari-hari anak-anak belajar di dalam kelas. Lebih tertib dari tempat sebelumnya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran sang ibu muda yang sekarang tidak lagi menjadi tenaga administrasi. Baginya, dunia anak adalah dunia bermain. Tapi sudah telanjur, uang sekolah pun sudah dilunasi. Mau apa lagi, selain mengikuti sistem yang ada. 

Suatu hari, tibalah saat yang ditunggu siswa-siswa di TK baru; berenang. Di sekolah lama, kegiatan renang adalah program rutin bulanan, jadi bukan barang baru. Pada saat yang bersamaan, si ibu sedang sakit. Jika anak sulungnya tidak disertakan berenang, sementara si anak tahu teman-temannya ikut dalam kegiatan tersebut, tentu akan membuat hatinya sedih. Maka sang ibu memutuskan mengantarkan saja si anak, tidak ikut menyertai. Sebab selain ia sedang sakit, tempat renangnya pun sama saja dengan sekolah sebelumnya, sehingga si ibu yakin, anaknya sudah terbiasa dengan tempat itu. Mengingat si sulung juga sudah empat tahun sekolah di PAUD sebelumnya yang setiap bulan ia berenang bersama guru dan teman-temannya. 

Ternyata, di TK baru, renang adalah sesuatu yang wah. Sekolah hanya mengadakan satu tahun sekali. Sehingga, saat program dilaksanakan, hampir semua walimurid datang menyertai anaknya. Mengambil gambar, makan bersama, dan hal-hal lain yang tidak pernah dilakukan saat menemani anak di sekolah. Hanya satu anak yang tidak ditemani ayah atau ibunya. Anak sulung si ibu muda. Si anak sendiri tidak komplein, karena baginya berenang hanyalah kegiatan biasa. Selain rutin dilakukan di sekolah lama, ia bersama adik dan orangtuanya sering melakukannya di ujung pekan. Tapi orangtua lain yang melihat merasa miris. 

Hari berlalu, cerita si anak baru yang berenang tanpa orangtua mulai menguap. Datanglah hari berikutnya, ketika UPTD Kecamatan mengadakan lomba untuk PAUD yang berada di wilayahnya. Si sulung meminta pada sang ibu agar disertakan dalam semua lomba. Permintaan dipenuhi. Biaya dibayarkan, anak-anak dilatih oleh gurunya. Pada hari H, si bungsu, adiknya si sulung sakit. Jadwal pun diatur sedemikian rupa. Ibu mereka mengantarkan anak sulung dulu ke lokasi lomba, lalu membawa si bungsu ke klinik untuk berobat. Nahasnya, hari itu sepertinya separuh penduduk kota sedang sakit dan semua sepakat untuk berobat di klinik yang sama. Klinik tersebut adalah faskes 1 BPJS yang dipakai keluarga ibu muda, pindah ke puskesmas kemungkinan besar sudah tutup. Ke rumah sakit lebih tidak mungkin, karena kondisi si bungsu belum masuk kategori darurat. Jika yang sakit badan sendiri, bisa dipastikan ibu muda akan meninggalkan klinik demi menemani si sulung lomba, tapi tidak ada pilihan demi melihat si adik. Semua ibu di dunia lebih suka ia yang sakit daripada anaknya, walau pilihan terbaik adalah sehat semua. 

Dan terjadilah kemalangan kedua. Semua lomba telah dilewati si sulung, tanpa ibu atau ayah yang menyemangati. Bahkan saat waktunya pulang, ibunya masih mengantre di klinik. Setelah kepanikannya muncul, tangisnya tumpah, baru ibu dan adiknya datang. Si ibu menghiburnya dengan membelikan mainan. Hajatan sebesar itu pasti diramaikan pula oleh penjual mainan yang tidak akan pergi sampai acara benar-benar bubar. Si sulung berhenti menangis. Tidak menang satu lomba pun tak masalah, yang penting pengalaman. Masalah dianggap selesai. 

Sampai kemudian, di suatu siang. Saat si ibu menjemput anaknya pulang sekolah. Seorang walimurid berpapasan dengan ibu muda di pintu samping sekolah. “Ummi besok ikut acara perpisahan, kan?” 

“Iyalah, kan sudah bayar,” jawab si ibu sambil tersenyum. 

“Acara terakhir nih, harus datanglah. Biar Aifah dak sendirian terus.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun