Waktu kecil, hampir tiap libur sekolah, aku diajak Mamak ke rumah adiknya di luar kota. Naik bus, sambung angkot, kadang dilanjutkan lagi dengan jalan kaki jika kondisi jalan sedang jelek.
Seingatku dulu, sepupuku di sana ada empat orang. Entah mulai kelas berapa, kami kemudian mendatangi adik ibuku itu di tempat yang berbeda-beda.
Ketika kembali ke kota, dan bertemu adiknya yang lain, Mamak sering ngomel. "Senang nian nempel ke laki. Tinggal tunak di rumah, biarlah suami cari makan balek sekali-sekali."
Bukan tanpa sebab, Mamak kesal karena empat keponakannya putus sekolah disebabkan harus berpindah-pindah tempat tinggal. Adik Mamak bekerja sebagai mandor di perusahaan sawmil, gajinya besar, jadi sayang ditolak.
Sementara istrinya tak mau LDR (istilah ini jelas belum dipakai waktu itu). Jadi mereka ke sana kemari beramai-ramai, pindah dari satu mes ke mes lain. Rumahnya ditinggal, bahkan kadang Idulfitri pun mereka tak pulang.
Meski tidak dimaksudkan bercerita padaku, karena omelan itu sering berulang jadi aku pun terkenang. Kala itu aku setuju pada Mamak, karena sepupu-sepupuku akhirnya tidak sekolah. Tapi kini, aku berpihak sepenuhnya pada bibiku. Untung beliau bersikukuh ikut suaminya. Kalau tidak, mungkin sekarang sepupuku tidak jadi tujuh. Malah mungkin dia bukan lagi ipar ibuku.
Baca juga: Cerpen Psikologi Perempuan dan Keluarga
Dakwah yang Memakan Korban
Tersebutlah seorang pemuda yang sedang semangat-semangatnya beragama. Euforia hijrah membuatnya mantap meninggalkan kampus demi cita-cita yang lebih tinggi lagi; surga. Itulah kenapa euforia selalu butuh rem. Jika tidak, semangat tinggi biasanya tak imbang dengan pemahaman.
Anggaplah namanya Amin, ilmu agama yang masih sedikit harus segera diamalkan. Maka dalam usia muda Amin menikah, kemudian melanjutkan semangat ibadah dengan berdakwah ke berbagai tempat.
Atas nama dakwah, Amin meninggalkan keluarganya. Kala itu mungkin ia belum tau, bahwa amalnya justru lebih dibutuhkan anak dan istri ketimbang orang yang jauh di sana. Dakwah di luar rumah bisa dilakukan orang lain, tapi menafkahi dan mendidik keluarganya (yang juga bagian dari dakwah) hanya wajib dilakukan olehnya.
Ada berbagai tempat yang kerap didatangi Amin. Konon, laki-laki tak terbendung jika syahwatnya sedang naik. Jadi untuk menghindari zina, Amin menikah lagi. Dengan dalih poligami tak perlu izin istri sebelumnya, ketika pulang Amin tinggal cerita. Bahwa ia sudah menikah di sana, punya keluarga baru di sini, menikahi perempuan di situ. Total empat rumah.