Bahwa banyak janin yang jadi korban kejahatan orang tuanya sendiri, kita sudah tau. Praktik aborsi dengan alasan tertentu dibolehkan di Indonesia, tentunya untuk yang darurat sekali. Misalnya korban perkosaan, penyakit, dll.
Tapi yang ilegal ditengarai lebih banyak terjadi ketimbang yang legal. Disebut legal jika dengan alasan yang kusebut di atas, dilakukan oleh ahlinya, dan mendapat izin dari wali ybs.
Ada kalangan yang menganggap larangan aborsi mengebiri hak perempuan untuk tidak memiliki anak. Padahal kalau mau berpikir sedikit lebih waras, aborsi memiliki efek yang tak main-main.
Dikutip dari sehatq.com (16/12/19), aborsi berisiko mengakibatkan pendarahan hebat, infeksi rahim, kerusakan rahim, keguguran di kehamilan berikutnya, dll. Kalau sudah begitu, siapa yang menanggung sakit? Perempuan juga kan.
Teman dari temanku pernah melakukan aborsi ketika pacaran. Alasannya saat itu mereka belum siap menjadi orang tua, karena masih kuliah. Kini mereka telah menikah puluhan tahun, tapi belum pernah berhasil mendapatkan anak.
Selain fisik, beban psikis pasangan itu pasti luar biasa. Jangan bilang karma, kenyataan yang mereka hadapi saat ini sudah jadi hukuman yang membebani keduanya.
Apakah pelaku aborsi saja yang kejam? Apa yang "bertanggung jawab" untuk menikah karena alasan "kecelakaan" sudah lebih baik? Nanti dulu.
Baca juga:Â Jangan Menulis Diari!
Anak Hasil Hubungan Terlarang
Tim peneliti dari University of Pennsylvania menyebutkan, 71% perempuan yang pernah selingkuh mempunyai ibu yang dulu juga pernah selingkuh. Sedangkan 45% laki-laki yang pernah selingkuh punya ayah yang juga pernah selingkuh.
Dalam Islam, dosa zina adalah dosa yang harus dibayar oleh keturunannya. Bisa dibilang selaras dengan penelitian terkait "jejak" perbuatan orang tua yang tertanam pada anak.
Sederhananya begini, jika kamu melakukan hubungan badan dalam keadaan nyaman, maka benih yang kamu hasilkan punya peluang lebih besar untuk jadi manusia berkualitas, daripada dilakukan dalam keadaan cemas karena khawatir ketahuan orang lain.