Barangkali aku dianggap toksik oleh teman sekolah sekaligus tetanggaku ini. Beri dia nama Melati, tapi jangan membayangkan bunga. Mungkin hotel lebih mendekati. Lah, beneran toksik ini penulis!
Meski kakak-kakak kami cukup akrab, aku dan Melati tidak demikian. Mungkin karena dia kemayu sedangkan aku tomboi. Jadi gak konek.
Walau satu sekolah di SD, dia bukan teman mainku di rumah. Bahkan sampai beranak dua saat ini, aku tak paham apa yang membuat kami tak pernah akrab.
Aku dekat dengan anak penjahit beda suku yang rumahnya lebih jauh dari rumah Melati. Aku biasa bertukar buku cerita dengan seorang cewek tercantik di kampung kami, dikejar anjing sama-sama, berantem-akur selama enam tahun di SD.
Bahkan dengan yang tak lagi satu sekolah denganku, seorang teman yang tiba-tiba pindah rumah lalu muncul kembali, aku bisa akrab hingga dewasa. Dengan Melati, semuanya beda.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikan, juga tak ingat tentang kisah-kisah masa kecil kami. Nyaris tak ada yang spesial, tapi sebuah kejadian membuatku akhirnya terkenang Melati.
Baca juga: Nostalgia Musik 90-an
Waktu itu aku sedang berada di mall, menunggu petugas penitipan yang tengah mencari barang-barangku. Seorang perempuan berdiri tepat di sebelahku, berhadapan dengan petugas lain. Aku menoleh sepintas, kemudian merasa seperti mengenalnya.
Kutoleh ia lagi, kemudian ingatlah aku bahwa ia adalah teman SD sekaligus tetanggaku dulu. Melati. Ia menoleh, tapi belum sempat aku tersenyum, ia kembali menghadap lurus pada petugas yang ternyata tengah mencatat datanya untuk kartu anggota.
Kutunggu ia menoleh lagi, khawatir kalau memanggil ternyata salah orang. Tapi ia justru makin fokus pada petugas tersebut. Padahal yang dipandangi tak bicara apa-apa padanya, hanya mencatat.
Aku masih menunggu, terus memandanginya. Takutnya jika aku berpaling saat ia yang menoleh, nanti dikira sombong. Petugas yang membantunya lebih dulu menyelesaikan tugas ketimbang petugas yang mengurusi barangku.