Halaman luas di kanan kiri lorong menuju rumahku, sebentar saja sudah berganti menjadi ruko. Awal-awal melintas, ada aroma yang membawaku kembali ke belasan tahun silam.
"Pegilah ke rumah Etek A, ambek baju sehargo utang dio ke Kakak. Tiap ditagih ngelak terus!" kata kakak laki-lakiku.
Dua kakak perempuanku bersorak, mereka bakal dapat baju baru! Sebenarnya bukan baru sih, tapi baju bekas yang dijual kembali. Konon pakaian itu "diimpor" dari Singapura.
"Jorok!" kata kakakku yang satu lagi. Tapi yang dua tadi mengajakku menuju rumah yang dimaksud. Aku ikut mereka.
Tiba di tempat tujuan, ternyata pakaian bekas baru saja dibongkar. Aroma khasnya menguar, yang tersimpan dalam memori otakku hingga sekarang.
Dua kakakku makin girang, karena peluang mereka mendapat pakaian bagus makin besar. Stok masih banyak, saingan masih sedikit. Kalau beruntung, mereka bahkan bisa dapat barang branded!
Oleh kebanyakan orang di tempat itu, pada masa itu, pakaian bekas disebut peje. Kalau itu adalah singkatan, PJ, sampai sekarang aku tak tau apa kepanjangannya.
Untuk menyamarkan istilah, agar jangan ketauan pakai barang bekas, sebagian orang menyebutnya ejep. Sekadar dibalik, dan pada akhirnya semua orang tau maksudnya.
Sedangkan oleh kakak laki-laki yang utangnya tidak balik, PJ dikatakannya sebagai singkatan dari pakaian jorok, agar aku tak ikut berburu. Jika sedang berbincang dengan teman-temannya, ia mengode adik-adiknya dengan bilang, baju merek Peter & Jeannie. Memfitnah brand orang!
Peje yang Naik Kelas
Karena larangan dari Mamak dan beberapa kakak, aku tidak pernah membeli peje. Bukan main kemampuan mereka kalau menakut-nakuti anak kecil.
"Itu yang make bukan orang Islam, diambek dari hotel. Hii!"