Musim hujan datang. Aku bukan penikmat hujan, juga bukan penghujatnya. Biasa saja. Yang kubenci adalah angin ribut.
Semasa kecil dulu tidak pernah begini. Tapi sekarang, setiap hujan baru dimulai, anginnya berdesing-desing mengerikan.
Ada kalanya air hujan terlihat horizontal. Jangan coba-coba berpayung di luar, dijamin payungmu rusak atau terbang tak terjangkau.
Trauma Angin dan Banjir
Awal 2000, aku punya pengalaman menyedihkan terkait angin (mungkin) puting beliung. Hari itu aku ada janji dengan teman. Cuaca sebenarnya cukup terang, tapi dari kejauhan memang nampak awan hitam. Tetap saja aku bersiap, toh mendung tak berarti hujan, seperti kata lagu jadul.
Tau-tau, hujan turun. Ya sudah, tunggu saja hingga reda. Baru beberapa menit dari mulainya hujan, terdengar suara  angin meraung-raung. Waktu itu aku berdiri di antara ruang tamu dan lorong menuju dapur.
Pintu yang tertutup (tapi tidak diselot) itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Angin menabrakku hingga terdorong ke belakang. Aku berlindung di balik dinding antara kamar dan ruang tamu.
Angin yang mengamuk itu lalu mengangkat atap rumah hingga membuka seluruhnya. Hujan membanjiri ruang tamu yang terang benderang karena tak ada lagi batas antara rumah dan langit.
Setelah hujan reda, diketahui ternyata bukan hanya rumahku yang jadi korban. Sebentar saja warga dan wartawan berdatangan. Disusul seorang pejabat kota, yang lalu menjanjikan bantuan bahan bangunan untuk memperbaiki rumah.
Lebih 10 tahun dari kejadian itu, hingga kini bantuan yang dijanjikan tak pernah sampai. Sebagai manusia Indonesia, kami sudah hafal.
Kejadian yang mirip dialami pula oleh Kakakku. Jika sedang hujan, ia mengaku tak bisa makan. Hatinya diliputi kecemasan karena berkali-kali berurusan dengan banjir.
Bahkan Kakakku yang lain, yang bertetangga dengannya, ikut-ikutan cemas. Pernah sekali waktu kami berada di rumah orangtua, lalu turun hujan. Karena hujannya begitu deras, ia mengajakku pulang (dari 7 bersaudara, kami bertetangga bertiga).