Gara-gara istilah baper, kita jadi tak boleh tersinggung, begitu kata temanku. Mirip yang diungkapkan Sujiwo Tejo tentang kepo, yang membuat orang jadi sungkan untuk peduli.
Aku tersinggung jika membaca chat yang diakhiri "tanda pentung" lebih dari satu. Seperti dicap bebal, tau tidak!!
Jika diminta mengedit naskah fiksi, kemudian salah satu tokoh dituliskan berucap menggunakan kapital secara keseluruhan, maka kuganti dengan huruf kapital hanya di awal saja. Kalau tak suka ya cari editor lain.
Kuberi keterangan bahwa si tokoh berteriak, itu terasa lebih ramah ketimbang membunyikan dialog dengan kapital. Karena pada posisi pembaca, aku merasa budek dibuat teks itu.
Begitu pula dengan tanda tanya dan tanda seru yang lebih dari satu, kuhapus saja kelebihannya.
Beda perlakuan jika tanda baca yang berlebih itu berupa titik tiga di ujung kalimat. Bila dimaksudkan untuk sesuatu yang belum usai, justru kutambahkan satu titik lagi. Tak usah tanya kenapa, begitu petunjuk menurut PUEBI (pedoman umum bahasa Indonesia).
Tapi jika titik tiga itu selalu ada di tiap akhir kalimat, ya kupangkas juga. Malah terkesan seperti soal esai, isilah titik-titik berikut ini!
Baca juga: Dibutuhkan Cerpen Singkat!
Apakah setiap menulis harus sesuai EBI? Tidak juga. Maksudnya, aku tidak selalu begitu. Tergantung suasana hati, aku tak suka tertekan.
Yang penting aku berusaha menyajikan kalimat-kalimat yang tidak rancu, sebagaimana aku terganggu jika membaca kalimat tak jelas juntrungan. Apalagi dengan tanda baca yang diterjemahkan otakku dengan bentakan atau teriakan.
Jika Gramedia dan Mizan punya gaya selingkung sendiri, begitulah yang berlaku di blog-ku, dan beberapa platform yang menyilakanku bertindak sesuka hati. Kompasiana salah satunya.