Rasanya seperti dia datang hanya untuk mengontrol kami, apa pekerjaannya sudah kami kerjakan? Sampai kembali lagi ke ruanganku sendiri, aku tak menemukannya.
Mungkin hari itu emosiku lebay, sehingga ada "tokoh pahlawan" yang menyampaikan ke bos. Jadilah aku disidang karena mungkin dianggap tak punya empati pada orang yang lemah akalnya.
"Runtuh harga dirimu cuma gara-gara nyapu?" begitu pertanyaan yang diajukan padaku. Harusnya lidah si bos bisa dipakai memotong bumbu mi instan. Tajam.
"Bukan masalah harga diri. Nyapu tidak ada di jobdesc," jawabku. Lupa bahwa ada satu folio daftar kerjaan yang juga tak ada di jobdesc-ku.
Kemudian panjanglah omelan, lengkap dengan ekspresi yang entahlah banget di ruangan itu. Ternyata, karena aku bisa menyapu, harusnya aku menikmati kerja nyapu.
Bukankah bertahun-tahun begitu? Hanya aku yang bisa mengotak-atik rumus excel, makanya aku yang menghitung. Cuma aku di sana yang bisa desain, jadinya aku yang desain ini itu. Karena aku paham kata baku, aku yang bikin surat.
Aku yang familier dengan internet, makanya aku pula yang selama itu jadi operator. Aku yang tahu jenis-jenis kertas, aku yang cari. Makanya, jangan terlalu banyak tahu! Jadilah "lugu" seperti office boy itu.
Sampai lima tahun setelah aku resign, masih ada yang tanya soal aplikasi, laporan keuangan, dll, minta bantuanku menyelesaikan. Aku masih nunggu loh, bos mereka yang menghubungi. Janji deh bakal kubantu!
"Runtuh harga dirimu minta tolong mantan karyawan?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H