Seniorku pernah ngomel-ngomel, "Kenapa ya laki-laki itu bisa dak nampak sein kendaraan lain? Tadi Kakak sudah liat mobil itu mau belok, kok suami Kakak terus aja lewat. Hampir kami diserempet mobil!"
Pengalaman si kakak belum seberapa. Aku pernah dibantu tukang ojek yang mendorong sepeda motorku dengan kakinya. Ketika bermaksud belok kanan, dia bilang kiri. Waktu minta minggir ke kiri dia bilang, "Ke kanan, Mbak!"
Jadi aku tak heran kalau ada ibu-ibu di boncengan motor yang tangannya melambai seolah hendak belok kanan, tapi yang bawa motor malah menepi ke kiri. Aku sudah pengalaman ketemu yang begini.
Masih ada lagi. Dalam perjalanan ke kantor, kulihat seorang bapak membawa sepeda motor sambil melihat ke HP. Saking merasa hebat, bapak ini putar arah masih sambil memegang HP. Tak ayal, pengendara lain yang tengah melintas lurus menabraknya dari belakang.
Jelas yang menabrak yang misuh-misuh, karena ia kaget tiba-tiba ada motor lain memasuki jalurnya. "Makonyo, bawa motor jangan pegang HP!" teriaknya.
Kalau ditulis semua, halaman Kompasiana mungkin muat, tapi akunya yang gak kuat.
Tapi anehnya, baik dalam obrolan WAG maupun di rumah, kerap kali orang menyebut emak-emak matic sebagai biang kesemrawutan di jalan.
Termasuk kompasianer Yana Haudy yang ngomel di Twitter perkara emak-emak yang tak mematikan sein setelah belok. Emak-emak kok ngomelin emak-emak. Gak kesedak sendiri, Mak?
Menurut hasil survei tersebut, pengendara laki-laki 3-4 kali lebih banyak melakukan pelanggaran dibanding perempuan. Survei oleh asuransi lain, Quality Planning, memberi hasil yang lebih kurang sama.
Di New Delhi, perempuan hanya "menyumbang" 1% dari total kecelakaan yang terjadi di ibu kota India tersebut (beritasatu.com).