Almarhum bapakku dulu sering sekali berjalan sambil melekatkan telapak salah satu tangannya ke dekat siku tangan yang lain, di belakang tubuh. Mirip dengan posisi "istirahat di tempat", tapi lebih tinggi.
Jika melihat beliau begitu, Mamak biasanya ngedumel. Beliau sangat tak suka melihat orang melakukan gestur tersebut. Katanya seperti menggendong tuyul!
Waktu aku belum lahir, dan kakak-kakakku masih kecil, Mamak memang dituduh banyak orang memiliki tuyul. Alasannya, beliau sering pulang kampung dan merupakan satu-satunya orang dengan pendidikan rendah yang bisa punya toko berisi penuh.
"Itu tuyulnyo!" tunjuk kakak sulungku pada adik-adiknya, saat menceritakan salah satu kisah fitnah itu padaku.
Baca juga: Bahaya Bohong pada AnakÂ
Bapakku yang sering berdiri atau berjalan demikian, membuat orang tambah yakin. Seperti ada keseragaman ilmu antara Mamak dan beberapa tetangga dari suku yang sama. Ciri orang memelihara tuyul, ia suka berjalan-jalan sambil membawa tuyulnya dengan cara digendong.
Sayangnya, ada yang luput dari mata tetangga, juga mata orangtuaku sendiri. Salah satu tetangga kami yang sekarang sudah kakek-kakek, sejak ia masih bapak-bapak dulu, kerap kulihat berjalan dengan gaya yang sama persis dengan almarhum Bapak.
Tuyulnya pasti error. Sebab sejak dulu kakek itu tak berubah hidupnya. Jauh dari kaya, meski tak bisa disebut terlalu miskin. Tepat sasaran jika RT setempat memberinya aneka "kartu sakti" dari pemerintah.
Tapi perkara gestur ala gendong tuyul nyatanya memang sebaiknya ditinggalkan. Menurut laman brightside.me (8/4/2018), bahasa tubuh ini mengirim sinyal negatif pada orang lain.
Menurut sumber tersebut, orang yang menampilkan gestur gendong tuyul biasanya berada pada kondisi emosional yang kurang baik. Sedang murung atau bahkan marah. Semakin tinggi, semakin tampak tidak baik di mata orang lain.
Jika terbiasa dengan posisi tangan di belakang tubuh, turunkan tanganmu sampai posisi terbawah. Genggam salah satu pergelangan untuk menambah kepercayaan diri.