Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Loh Bahaya Bohong pada Anak, Mak!

2 Agustus 2020   21:45 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:40 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dikira akan segera berakhir, nyatanya kasus positif covid di kotaku justru bertambah. Malah yang tadinya 0% kematian, akhirnya memakan korban nyawa juga.

Alhasil, kalau sebelumnya sempat merasa aman membiarkan anak-anak main di luar, belakangan jadi cemas lagi.

Terutama bertepatan dengan Iduladha kemarin. Anak-anak ngobrol, mereka begitu semangat akan kembali melihat proses penyembelihan hewan kurban di masjid terdekat.

Rasanya tak tega melarang, tapi bagaimana mau dibiarkan. Orang akan ramai berkumpul, ditambah lagi lokasi rumah kami dekat dengan pasar tradisional, yang kabarnya rawan penularan corona.

Masih aku berpikir-pikir, waktu terus berjalan. Tahu-tahu, hari H anak-anak tak mau ke masjid. Wow, ajaib!

"Kato Bunda A di sebelah masjid ado anak keno corona!" kakak-adik itu melapor.

Deg! Aku pun kaget. Alih-alih senang mereka tak jadi ke masjid, malah cemas jika anak yang dimaksud sempat bermain dengan mereka sebelum ketahuan positif.

Tapi sampai sore, akun IG dari pihak berwenang tak juga mengabarkan penambahan kasus, apalagi menginformasikan alamat suspek yang sama dengan alamat rumahku.

Kuminta suami menanyakan kebenaran info dari anak-anak ke Ketua RT. Beliau justru tertawa. "Ucapan anak-anak kok diambil hati!"  

Kupikir-pikir lagi, benar juga kata suami. Bisa jadi ini hanya akal-akalan orangtua dari teman mereka agar anak-anak di sekitar rumahnya tidak ke masjid. Sebab sampai hari ini pun, tidak ada informasi penambahan positif dari kelurahanku. Syukurlah.

Tapi anakku yang kadung percaya, mengabarkan hoaks itu ke mbahnya. Simbah menceritakan ke anaknya yang lain. Anaknya yang mendapat kabar, bercerita lagi ke salah satu kakakku.

Entah kakakku itu sempat heboh ke mana-mana atau tidak, tapi untungnya ia meneleponku, menanyakan kebenaran kabar yang sampai ke telinganya.

Aku percaya ibu dari A, temannya anak-anak, bermaksud baik. Tapi niat baik memang selayaknya dilaksanakan dengan cara yang baik pula. Sebab bukan hanya menerbitkan hoaks, berikut dampak jika anak-anak sering dibohongi:

1. Mereka sulit untuk percaya lagi.

Kita tentu tak lupa pada ungkapan "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya". Karena belum berpengalaman, anak-anak memang mudah dibohongi. Tapi tak akan semudah itu mendapatkan kepercayaan mereka kembali.

2. Mereka meniru.

Orang dewasa adalah contoh bagi anak-anak. Coba pikir, bagaimana anak bisa bicara, jalan, dan lihat cara tertawa mereka! Secara alami mereka meniru kita.

Jadi jangan heran pada anak yang suka berbohong, jika orang dewasa di sekitarnya kerap melakukan hal yang sama.

3. Berdampak hingga dewasa.

Menurut situs halodoc (13/1/2020), anak yang sering dibohongi akan menjadi pribadi yang agresif, impulsif, dan tidak taat aturan, pada saat ia dewasa.

4. Menganggap negatif figur tertentu.

Pernah melihat anak yang terlalu kuat melakukan perlawanan saat dibawa ke dokter, padahal hanya untuk konsultasi? Bisa jadi anak tersebut pernah ditakut-takuti dengan sosok dokter jika ia tidak mau melakukan sesuatu.

"Makan ya! Kalau tidak, nanti disuntik dokter!"

5. Menjadikan bohong sebagai solusi.

Sekali berbohong karena meniru, dan tidak ketahuan, anak-anak bisa saja menganggap bahwa bohong adalah solusi yang tepat.

Belum lagi pandangan orang dewasa yang kadang mengira anak-anak tak mungkin berbohong, membuat mereka makin berpengalaman dan menikmati keberhasilannya dalam melakukan kebohongan. Jadilah mereka terbiasa dan tak menganggap keliru perbuatannya.

Ada hal lain yang membuatku senang anak-anak tak jadi melihat penyembelihan. Tahun lalu, saking mereka senang berkumpul dengan teman-temannya, aku bolak-balik ke sana tapi tak berhasil membawa mereka pulang.

Setiap dijemput, masih asyik bermain. Sampai lebih dari tiga kali aku bermotor rumah-masjid-rumah, mereka masih seru-seruan. Sampai yang keempat atau kelima, ketika aku lewat, ibu-ibu yang tengah berkumpul memandangiku dari kejauhan sampai jauh lagi.

Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang salah? Lalu hatiku menjawab, "Kamu dikira nungguin daging, tau!"

Kan aku malu!

referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun