Kita tentu belum lupa sekian banyak kasus ambulans yang terhalang pengendara lain di jalan raya. Dari sekadar keributan, sampai pasien yang akhirnya wafat di perjalanan. Siapa yang mengakibatkan itu semua?
Aku punya pengalaman sendiri di tahun 1997 dulu. Kala itu kami akan pulang ke Kota Jambi, dari Sungai Bahar, salah satu kecamatan yang terkenal dengan hutan sawitnya di Provinsi Jambi.
Aku tak paham kenapa kami harus memakai ambulans, sebab aku hanya remaja kelas 1 SMP yang mengikut pada kakakku dan kawan-kawannya.
Sebagian penumpang ambulans memang tenaga medis yang ditugaskan di salah satu desa di Sungai Bahar. Mungkin itu sebabnya ambulans bisa dipinjam, meski keadaan tidak darurat sama sekali.
Selama perjalanan semuanya aman nyaman, jauh lebih menyenangkan daripada naik angkutan umum. Bahkan ketika telah memasuki wilayah dengan aspal yang mulus, ambulans ngebut seolah benar-benar diburu waktu.
Makin dekat ke kota, lalu lintas makin ramai, ambulans tak bisa ngebut. Untuk menyiasatinya, sopir menyalakan sirine. Tak hanya diberi jalan lebar, bahkan kami tak perlu repot-repot berhenti di lampu merah. Seolah melintasi tol sepanjang perjalanan.
Jadi ketika puluhan tahun kemudian banyak kasus di mana pengendara tak percaya ambulans benar-benar membawa pasien, aku menduga salah satu sebabnya adalah seperti yang dilakukan oknum di atas.
Bisa jadi, ada banyak ambulans lain yang juga digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga masyarakat kemudian berprasangka kebanyakan begitulah ambulans dioperasikan. Hanya untuk mengelabui pengendara lain.
Kasus yang terjadi di Desa Sukorejo, Kecamatan Kunir, Lumajang, tak kalah konyol dari ambulans yang dipakai untuk membawa penumpang yang bukan pasien.
Sebuah video amatir berhasil merekam sebuah ambulans desa yang digunakan untuk mengangkut kambing. Iya, kambing!