Waktu kecil, aku percaya ibuku adalah seekor tikus. Meski setelah remaja nalarku menolaknya, tapi sampai dewasa, aku kadung terbiasa dengan keyakinan itu.
Ibuku yang pendiam itu tak seperti kebanyakan perempuan menurut kabar orang-orang. Ibu tidak cerewet, tidak cengeng, juga tidak suka mengutuk. Jika sedang sedih, ia memilih menyendiri di salah satu ruang rumah kami.
Dengan tabiatnya, ibu mencetak dua anak yang mirip dengannya. Aku dan adikku.
Kata adikku, "Jika Ibu jadi tikus, berarti Ayah adalah kucing."
Aku tidak setuju. Bahkan Ayah lebih anjing daripada anjing.
"Apa anjing memakan tikus?" tanya adikku di masa kecil kami dulu.
"Anjing memakan apa pun," jelasku. Anjing tetangga kami biasa menggondoli apa saja. Kadang ia membawa diapers bekas pakai dan mengunyahnya di halaman kami, lalu meninggalkannya begitu saja di sana.
"Jadi bukan karena memakan tikus, tapi karena tingkahnya itu!" kataku menekankan pada Adik.
 "Anjing suka menggonggong juga kan," tambahnya.
Kuusap rambut adikku, mengagumi kecerdasannya yang terus bertambah.