Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ternyata Kelewat Pintar Itu Tak Selalu Bagus!

18 Juni 2020   09:11 Diperbarui: 18 Juni 2020   09:07 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kakakku seorang guru. Tahun 90-an dulu, ia punya prinsip, biarlah siswa ribut, yang penting mengerti. Ini mirip dengan ide yang dimunculkan beberapa film dan sinetron pada masa itu. Tak apa berandalan, yang penting di sekolah nilainya tinggi.

Sering kusampaikan pada sulungku, "Bagi seorang adik, kakaknya adalah idola. Apa yang kakak buat, dia meniru."

Kelak dewasa, mungkin dia akan menjawab, "Apa yang orangtua lakukan, ditiru anaknya. Dari yang sulung sampai yang bungsu."

Maka di masa kecil itu, aku mengadopsi prinsip kakakku dalam versi siswa. Terserah patuh aturan atau tidak, yang penting aku nyambung dengan pelajaran yang disampaikan. Untungnya guru zaman dulu galak-galak.

Jadi yang kutakutkan dari guru adalah ketika mereka marah. Jika tak marah ya suka-suka aja. Apalagi fakta seperti membenarkan ucapan kakakku. Biarpun suka ribut, kalau nilai latihan, ulangan, dan ujian tinggi, guru enggan memarahi kita.

Sampai kemudian ketika aku dewasa, di salah satu SD kulihat anak-anak yang nilai rapornya baik menganiaya teman mereka yang agak terbelakang. Di situ aku yakin, pintar saja tidak cukup.

Anak-anak itu baru saja mempelajari kemampuan materi tertentu menyerap air. Mereka lalu mempraktikkannya dengan meletakkan ujung tisu ke air panas. Lalu air panas yang terserap diteteskan ke kulit temannya.

Tiga orang memegangi korban, satu sisanya menetesi tangan dan kaki korban sambil terbahak-bahak. Korban yang seorang ABK menangis meraung-raung, tapi empati mereka tak hadir.

Ketika hasil tes psikologi keluar, kebanyakan siswa tersebut ternyata memiliki IQ (Intelligence Quotient) tinggi, tapi EQ (Emotional Quotient) sangat rendah. Terakhir kulihat di sekolah itu juga sedang digalakkan SQ (Spiritual Quotient) untuk seluruh siswa hingga ke orangtua mereka.

EQ tidak hanya terkait empati maupun simpati, tapi lebih ke manajemen diri. Bahkan sejak lebih dari seabad lalu, orang dengan IQ sangat tinggi hingga ke level jenius sudah ada. Tapi IQ tinggi tak selalu berarti baik.

Tahun 1898, lahir seorang bayi laki-laki di New York City, yang kemudian diberi nama William James Sidis. Ayahnya seorang psikolog jebolan Harvard.

Kalau Albert Einstein diperkirakan memiliki IQ 160, Isaac Newton 190, William punya IQ sekitar 250-300!

Ketika usia 6 tahun aku keranjingan Donal Bebek, William bayi, di usia 1,5 tahun sudah membaca Newyork Times!

Pada usia 8 tahun, William mampu berbicara dalam delapan bahasa; Latin, Yunani, Prancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Semuanya ia pelajari sendiri. Tahun 1909 menjadi mahasiswa Harvard termuda, 11 tahun.

Karena kecerdasannya yang luar biasa, sejak kecil William sudah dikenal banyak orang. Tapi yang mengejutkan, ketika lulus dari Harvard, William mengatakan pada wartawan bahwa ia ingin menjalani hidup dengan sempurna, yakni mengasingkan diri dan tak akan menikah.

Bahkan ketika ayahnya meninggal, William tidak menghadiri upacara pemakaman. Ia terus berada dalam keterasingan hingga memilih pekerjaan-pekerjaan rendahan agar tidak dikenali orang.

Meski demikian, tetap ada saja yang mengenalnya. Yang karena melihat kehidupan William begitu mengenaskan, beranggapan bahwa William telah kehilangan kecerdasannya. Padahal sepanjang hidupnya, William menulis sekian banyak buku penting dengan nama samaran.

Pada akhirnya, kecerdasan saja, IQ supertinggi, tak serta merta membuat kita bahagia. William James Sidis wafat pada usia 46 tahun sebagai bukan siapa-siapa. Meninggal dunia karena pendarahan otak dalam keadaan terasing, bahkan dari keluarga sendiri.

Secerdas-cerdas akal, tetap ada batasnya. Apa gunanya kecerdasan jika tidak mampu mengelolanya? Apa gunanya akal jika tak dipakai untuk mengenal penciptanya?

sumber 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun