Sekali waktu, aku duduk di kursi paling depan tapi di ujung dekat pintu. Jika angin dari luar bertiup, akulah yang lebih dulu mendapat rezeki embusannya.
Jam terakhir, pelajaran Biologi, dengan angin sepoi-sepoi. Apa lagi yang dilakukan seorang siswa kalau bukan tidur? Dengan wajah menghadap ke meja, buku tulis terbuka, dan pena di tangan, aku tidur dengan nyaman.
Tak cukup itu saja, teman sebangku yang posisinya tepat di sebelah dinding, bernyanyi kecil sambil mencorat-coret meja. Lantunan lagunya, gerak berulangnya, membuatku semakin dalam menuju alam mimpi.
Sampai kemudian, tiba-tiba kelas ramai. Temanku yang tadi bernyanyi lirih ngomel-ngomel padaku. Aku terkesiap. Sampai pulang pun aku tak tahu apa yang terjadi. Pokoknya terbangun, ada yang tertawa, ada yang tegang. Lalu kelas ditutup dan kami pulang.
Besoknya, teman sebangku yang kemarin ngomel meneruskan omelannya. "Tau dak, gara-gara kau tedok ngadap aku, jadi dikiro Bapak tu aku ngajak kau ngobrol!"
"Salah kau, Vi, ngapo kau nyanyi-nyanyi. Kau yang ngadap dio, jadi dikiro Bapak kau tu lagi ngomong samo dio," kata teman di belakangku.
"Emang apo kata Bapak tu?" tanyaku masih bingung.
"Sudah Syarifah, jangan ladeni Evi tu! Saya lihat kalian ngobrol terus dari tadi."
Aku ngakak tak tertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H