Waktu SD, kalimat yang bolak-balik dipakai oleh penulis buku pelajaran dalam sebuah contoh kalimat adalah "Ibu menggoreng ikan di dapur, Ayah membaca koran di ruang tamu."
Sejak SD pula aku menolak pakem ini. Bagaimana tidak, pemandangan sehari-hari yang kulihat di rumah, jauh dari yang tertulis di buku itu.
Bapakku suka di dapur, masak apa saja. Dari dapur, beliau akan beralih ke halaman, mencabuti rumput liar. Bukan berarti Mamak kemudian ongkang-ongkang, beliau mengurusi warung yang menghidupi kami. Belanja pagi-pagi sekali lalu berjualan berbagai kebutuhan rumah tangga di bagian terdepan rumah kami.
Tidak ada pembagian tugas berdasarkan gender. Abangku yang kedua sering menyapu halaman dan mencuci piring, tapi ia juga bekerja dan mempunyai pendapatan untuk membantu orangtua.Â
Begitu pula dengan kakak-kakak perempuan, mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan melayani penghuni rumah dengan mencuci pakaian dsb.
Semua baik-baik saja, kami hidup dengan normal.
Pembagian tugas yang sesuai fitrah menyebabkan laki-laki secara spontan hadir sebagai pelindung di rumahnya. Demikian pula perempuan, seperkasa apa pun, mereka adalah makhluk penuh kasih. Perasaan yang lebih dominan ketimbang logika menjadikan mereka tempat yang nyaman untuk anak mengadu.
Jadi, sudah tak cocok lagi menyebut-nyebut kelebihan yang sebenarnya sudah ditakdirkan sejak awal kepada semua orang, baik soal melahirkan maupun tentang memberi makan.
Kalau laki-laki pakai cara yang sama, para suami bisa balas. "Oke kamu punya rahim, tapi kalau tak ada yang meletakkan bakal janin di dalamnya, emang bisa jadi bocah?"
Syukurnya laki-laki jarang punya refleks adu omel begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H