Kakakku resah dengan anaknya yang terlalu candu Korea. Dinasihati, diancam-ancam, tetap saja HP-nya berisi drakor dan wajah-wajah cowok kemayu itu.
Di kamar keponakanku, ada sederet foto cowok-cowok yang kalau zaman dulu, mungkin setara Aaron Kwok. Khas mereka, berkulit putih dengan bibir merah.
"Kagek kau mati, orang tu lah kawan kau!" kata ibunya.
Besoknya gambar itu memang menghilang dari dinding kamar. Tapi waktu aku mengotak-atik laptopnya, masih ada puluhan film dan lagu Korea di salah satu folder. Minta ampun!
Anakku belum remaja, aku juga belum punya ilmu bagaimana menaklukkan hati remaja. Tapi yang pasti, aku pernah jadi remaja.
Masaku dulu, yang digandrungi di SMA adalah SO7. Aku sendiri tidak termasuk fans band asal Jogja itu. Aku punya koleksi Limp Bizkit dan System of A Down. Tapi diam-diam, aku suka lagu Malaysia. Kalau kawanku tahu, bisa habis aku dibully.
Lagu Malaysia itu norak, lesu, menye-menye. Pokoknya jahat banget kalau ada yang komentar soal lagu Malaysia. Mereka tak tahu, lagu Malaysia adalah pengobat nostalgia terbaik setiap aku rindu masa kecil.
Sekarang aku berprasangka buruk, jangan-jangan kawanku dulu ada yang suka dangdut tapi ngaku-ngaku suka pop atau rock. Khawatir dihina karena anggapan lagu dangdut kalah kasta dari jenis musik lainnya.
Hal lain lagi, ketika aku menyebut Duta itu cungkring, aku dilempar buku oleh kawanku yang fans berat SO7. Buku cetak pelajaran! Bukan buku tulis. Lalu dia maki-maki Fred Durst dan Serj Tankian. Kafirlah, apalah.
Aku sih santai, mereka bukan siapa-siapaku. Meski aku punya kaset, pin dan poster band-band tersebut, tapi aku masih realistis. Tak pernah sekalipun terpikir nonton konser mereka atau ketemu langsung lalu drama pingsan segala, seperti reality show zaman itu.