Sebagai manusia dengan iman ala kadarnya, aku juga sama dengan orang lain. Sok-sok senang setiap menyambut Ramadan, tapi baru memasuki 10 hari kedua, ibadahnya ngos-ngosan juga.
Maka aku tak berani berharap muluk-muluk bisa mencapai ini itu. Tahu diri, banyak minta padahal amalan sedikit.
Dan, sebagaimana keinginan seluruh manusia di dunia, aku berharap pandemi Covid19 segera berakhir. Kalau ada manusia yang tidak berharap demikian, mungkin aslinya dia bukan manusia. Saking super, atau dia punya kepentingan yang itu memudarkan rasa kemanusiaannya.
Siapa sih yang tak terdampak wabah luar biasa ini? Kalaupun virus Corona terbaru ini adalah rekayasa manusia, aku yakin yang merekayasa pun tak menyangka akan begini dahsyat akibatnya.
Rasanya baru kemarin kita merencanakan dengan matang beberapa hal untuk tahun 2020. Resolusi tahun baru, berbagai rancangan kegiatan di tanggal cantik, dan macam-macam impian yang rasanya 99% akan terlaksana. Â Â
Sungguh kita disuruh belajar dengan munculnya corona ini. Ada sesuatu yang tak nampak di matamu, tapi bisa mengubah hidupmu 180 derajat!
Setelah mendapatkan sekian banyak hikmah Corona, kita pun dihadapkan pada hikmah Ramadan, yang barangkali selama ini dilalui sebatas memenuhi kewajiban tahunan.
Melihat bubuk kopi di pagi hari di bulan Ramadan, rasanya ingin sekali menikmati kopi hangat ditemani gorengan pagi itu. Siangnya, hanya sepotong semangka mampu membuat kita menelan ludah.
Sore hari, ketika hidangan berbuka disiapkan, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Semua yang tersaji di meja makan sepertinya akan masuk ke dalam perut.
Tapi ketika azan Magrib berkumandang, baru tiga teguk air ditambah dua potong kue, perut terasa sudah penuh. Makin banyak makan, makin berat hendak berdiri salat Magrib.
Usai salat Magrib, sisa berbuka disantap, masih juga tersisa. Begitu pula setelah menyelesaikan Tarawih  dan Witir, makanan untuk berbuka tak juga habis. Ketika sahur, makanan itu kerap kali sudah tak menarik lagi.