Kenapa bermain mercon busi butuh nyali lebih besar? Karena benda itu tidak bisa dimainkan di lapangan. Pertama, banyak nenek-nenek yang kadang mendengar anak-anak tertawa saja merasa terganggu.
Kedua, mercon busi butuh tempat mendarat yang keras dan padat. Tembok sekolah atau aspal jalan raya. Jadi, kami memainkannya di jalan masuk lorong. Antara sekolah dan kantor lurah.
Mercon busi dimainkan dengan cara dilempar ke udara atau menyamping ke arah tembok. Kami harus memastikan jalanan aman, kalau salah perhitungan, bisa-bisa busi mendarat di kepala orang. Kalau diingat sekarang, gila bener bahayanya permainan ini.
Nantinya busi akan turun kembali dan menghantam aspal atau tembok, dengan ledakan yang kerasnya tiga sampai lima kali lebih besar dari mercon kayu.
Ada pula mercon versi lain yang kami sebut bedilan. Dibuat dari bambu, yang lebih sulit dicari daripada busi bekas. Meski suara bedilan juga keras, tapi ledakannya tidak seseram busi. Aku kesulitan menjelaskan pada bagian ini.
Menyenangkan buat dikenang, tapi aku tak akan mengulanginya. Untuk sekarang, dengan penduduk yang jauh lebih padat, jalanan yang ramai. Sangat tidak aman bermain mercon busi.
Terakhir kali aku bermain, masih di tahun 90-an. Aku hanya anak SD yang kehabisan teman di siang Ramadan yang panas. Kuisi mercon busi sendirian, melapisnya dengan kertas belerang yang tipis, lalu melemparkan di jalanan yang sepi.
Sial, mercon itu tak berfungsi. Aku kesal! Sudahlah main sendirian, mercon tak menyala. Jadi kulempar saja benda itu ke tembok Kelurahan.
BOOOM!
Ledakannya menggetarkan tiga RT! Seorang ibu keluar dari rumahnya, berteriak-teriak menyebut kelamin suaminya. Aku kabur meninggalkan merconku merana sendiri di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H