Banyak istigfar aku, ketika sebuah cuitan lewat di linimasa Twitter pagi ini. Innalilahi wa innailaihi rojiun.
Telah meninggal ibu yg viral di video ini, begitu bunyi captionnya.
Sedih, jengkel, dan malu campur aduk di benak. Bagaimana bisa, di era teknologi dan informasi sedemikan deras, ada keluarga yang kelaparan hingga salah satunya meninggal dunia?
![twitter.com/82Arfun](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/21/1-2-5e9e4cad097f360f4d205e32.jpg?t=o&v=770)
Suaminya mencari nafkah sebagai pengumpul barang bekas dengan penghasilan per hari paling banyak 30 ribu saja. Sebelum Covid-19 mewabahi Indonesia, anak sulung Yuli bekerja, tapi sekarang menganggur karena perusahaan tutup.
Anak bungsu Yuli yang masih berusia tujuh bulan, hampir selalu menangis. Mungkin karena ASI yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Bagaimana tidak, ibu, ayah, dan kakak-kakaknya hanya minum air galon isi ulang selama dua hari terakhir. Saking tidak ada yang bisa dimakan!
Keluarga ini sempat mengadukan nasib mereka kepada RT setempat, meminta bantuan untuk menyambung hidup. Tapi karena belum ada bantuan dari pemerintah, permintaan sembako Yuli ditolak. Entahlah, apa satu RT itu hidup susah semua, hingga tidak ada yang bisa membantu?
Atau satu kampung itu melakukan lockdown lalu tak ada warga yang keluar sama sekali. Hingga tak menyadari, tetangga mereka kelaparan? Â
Pantas saja di dua WAG blogger yang kuikuti, berkali-kali admin mengingatkan, lihat sekitar. Adakah tetangga yang butuh bantuan? Jangan sampai lalai menolong orang terdekat.
Karena kisahnya viral, Yuli akhirnya mendapat bantuan. Relawan dari Kwarda Banten menyambangi rumahnya untuk memberi sembako, mungkin juga disusul relawan lain atau pemerintah setempat.
Tapi semua sudah terlambat, selang tiga hari setelah viralnya, Yuli justru mengembuskan napas terakhir. Belum jelas apa sebab kematiannya, pihak puskesmas hanya menyebutkan Yuli banyak pikiran.