Dulu, untuk mengirimkan tulisan, baik cerpen maupun esai ke media, aku harus menulisnya di kertas double folio. Kadang di kertas bekas buku pelajaran entah siapa, yang tergeletak di warung, siap dijadikan bungkus cabai dan sebangsanya.
Kertas penuh coretan itu kemudian kubawa ke rental komputer. Diketik sambil diperbaiki beberapa kalimat. Untuk cerpen, kadang endingnya berbeda dari ketikan semula.
Kemudian naskah tadi kusimpan ke disket, berharap file tidak rusak sampai aku kirim lewat email dari salah satu warnet yang ada. Jika file rusak, aku harus kembali ke rental, menyalin lagi hasil ketikanku.
Yang lahir setelah tahun 2005 hampir pasti tak mengenal disket. Floppy disk, menyimpan 2 megabyte saja dengan kerapuhan yang menyedihkan terhadap virus dan medan magnet.
Kini zaman sudah berlari jauh. Teknologi membuat semua menjadi mudah dan cukup terjangkau. Laptop bukan lagi barang mewah, padahal dulu rasanya tak tergapai.
Anehnya, setiap hadir di sebuah pelatihan kepenulisan, pertanyaan tentang kendala mentok ide masih menjadi bahasan. Manajemen waktu, mood, dsb yang itu-itu saja masih menjadi semacam tembok penghalang, antara niat dan langkah memulai.
Jika kuceritakan bagaimana prosesku mengirim tulisan di awal tahun 2000-an, juga dengan kemungkinan dimuat atau tidak, mereka baru terbengong.
Saat ini fasilitas yang disediakan teknologi sungguh memanjakan kita. Tak perlu membuat buku saku untuk menulis ide yang terbetik saat di perjalanan. Tinggal ketik di HP.
Tak perlu menunggu bilik warnet kosong untuk mengirim email, cukup kirim sambil rebahan di kamar. Alih-alih mengirim naskah via pos, seperti yang dilakukan orang-orang tua dulu.
Bahkan di saat pandemi begini, yang waktu untuk menulis terbentang dari pagi hingga pagi lagi, yang semula mengeluhkan manajemen waktu pun belum tentu mengerjakan impiannya.
Jadi menurutku, masalah kita bukan soal waktu, mood, kesibukan, ide, dll. Semuanya soal niat dan kesungguhan. Jika sudah memulai, semuanya akan jadi lebih mudah.