Pedagang masker muncul lebih cepat. Biasanya masuk lebih dalam ke musim panas, ketika asap karhutla mulai terasa di tenggorokan. Masker kain aneka motif dan bentuk. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, cukup lima ribu rupiah.
Gondoklah kalian yang menimbun masker. Orang awam tak lagi mencari, malah polisi yang menguber-uber.
Hand sanitizer juga sudah muncul kembali, salah satunya di minimarket yang tadi kuhampiri. Terpaksa keluar rumah menuju ATM, jadi pulangnya sekalian mampir untuk beli sereal dan jajan anak-anak.
Hand sanitizer dengan merek "biasa" dibanderol harga 34 ribu rupiah. Padahal dulu, merek tersohor pun hanya 12 ribu. Mending numpang cuci tangan di depan minimarket. Di hampir semua tempat juga banyak orang yang menyediakan galon untuk cuci tangan, lengkap dengan sabun dan tisunya.
Bahkan di fotokopian dan toko biasa, juga disediakan. Nyaho kalian para penimbun hand sanitizer!
Di perjalanan pulang, kulihat ada yang janggal dengan barang dagangan seorang penjaja masker pinggir jalan. Lagi-lagi aku terlalu tak enak hati untuk mengambil gambar. Tapi tak begitu kusesali, siapa tahu prasangkaku salah. Malah bisa jadi fitnah.
Mataku yang minus bisa saja salah memberi informasi, bahwa masker itu mirip dengan masker bedah. Terlihat agak kusut, dikemas dalam plastik bening. Berwarna hijau, mungkin kebetulan. Dan dihargai sama dengan masker kain, 5 ribu rupiah.
Melihat sepanjang jalan pergi-pulang orang masih lalu lalang ramai seperti tak terjadi apa-apa, kupikir bisa saja perkara Covid-19 ini memang masyarakat tidak teredukasi dengan baik. Salah satunya tentang penggunaan masker.
Masker bedah seharusnya digunakan sekali pakai, tidak dicuci atau dirapikan lalu dipakai lagi. Pun masker kain sebaiknya hanya dipakai tak lebih dari 4 jam, lalu direndam dengan air sabun.
Sekali lagi, ini hanya prasangkaku. Mungkin benar, tapi kuharap keliru.
Bukan tidak mungkin ada pihak yang memanfaatkan masker yang sudah menjadi sampah, kembali ke fungsi semula. Jelas kita tahu efek buruknya.