Waktu si Kakak masih di TK, tiap tahun ada tes psikologi. Pada salah satu sesi diskusi, psikolog yang melakukan tes pada anak-anak menjelaskan perbedaan antara berambisi dan ambisius.
"Anak punya ambisi itu bagus, Bu," katanya. "Tapi kalau ambisius, itu berbahaya!"
Tidak ada yang tanya bedanya, karena sudah jelas si bapak bakal menjelaskan itu.
"Berambisi, berarti dia punya keinginan. Ini memang harus dimiliki semua manusia, dan harus diupayakannya sendiri. Kalau ambisius, dia punya keinginan yang besar tapi tak mau mengusahakannya."
Hmm, benakku langsung terbang ke suatu tempat. Di dua lokasi, rumah di mana hidup keluarga (yang nampaknya) serbakekurangan. Yang satu di luar kota sana, satu lagi tak jauh dari tempatku.
Kalau kusebutkan namanya, tentu jadi gosip tak penting. Tapi dengan ulasan tanpa identitas, harapannya ini bisa jadi pelajaran untuk kita semua.
Dua rumah ini, punya kesamaan. Penghuninya tidak bekerja, tapi banyak anak kecil di dalamnya. Jika kita bertandang, timbullah rasa iba. Suami menganggur karena tak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan. Si istri harus mengurus sekian banyak anak.
Ditambah bumbu cerita, bahwa keluarganya tak ada yang peduli, siapa pun mudah memberi donasi. Sungguh kasihan.
Nyatanya, di keluarga yang tak jauh dari tempatku, aku tahu dengan pasti bahwa semua pengeluaran ditanggung ibu dari pihak perempuan. Sang ibu, yang terlalu sayang pada anaknya, kerap berdusta pada anaknya yang lain untuk mendapatkan uang dan memberinya pada keluarga ini.
Semua dilakukan demi anak dan cucu-cucu yang ramai itu.
Dari tagihan listrik, air, makan sehari-hari, bahkan ongkos sekolah anak, ditanggung sang ibu. Jika tahun ajaran baru datang, janda 70 tahunan ini pula yang repot ke sana kemari mengumpulkan dana untuk anaknya. Begitu pula jika lebaran hampir tiba, ia yang sibuk memikirkan baju baru untuk cucu-cucunya.