Akhirnya aku harus keluar. Belanjaan yang akan dibeli kali ini menyangkut hajat hidupku yang tak boleh salah. Merk, jenis, dan ukuran harus sesuai. Kalau diamanahkan pada suami, kemungkinan kelirunya 90%.
Benar merk, salah jenis. Benar merk, jenis, dan ukuran, harganya lebay. Karena salah tempat beli. Artinya, suamiku laki-laki sejati. Selalu salah.
Minimarketnya tak terlalu jauh. Sekilo pun tak sampai. Tapi harus melewati pasar tradisional yang ramai. Iya, ramai banget! Yang pakai masker paling banter 25%-nya.
Lebih unik lagi. Sebenarnya kurang tepat sih disebut unik, dibilang ngawur juga kurang cocok. Entah sejak kapan ada pengamen yang "nampil" di pasar tradisional. Setidaknya di pasar ini, aku belum pernah lihat sebelumnya.
Ia menyanyi ketika orang-orang asyik memilih sayur dan aneka bumbu. Seharusnya kuambil gambarnya, tapi keraguan melanda. Aku tidak berbelanja di tempat itu, hanya lewat. Kalau aku sengaja berhenti untuk mengambil gambar, nanti orang salah paham.
Meski laju motor sudah sangat pelan, tapi karena kelamaan mikir sampai juga aku ke laundry. Sudah jauh dari pasar. Setelah ambil pakaian, malah pulang.
Gara-gara masalah foto, yang tadinya ingin bahas pengamen dan masyarakat yang supersantuy, akhirnya aku beralih ke tema lain. Ditambah salah seorang kompasianer, entah siapa namanya, yang kebingungan saat kuberi komentar di artikelnya mengenai blogshop dua hari lalu.
Orisinalitas Itu Bukan Hanya untuk Teks
Kupikir aku istimewa, ketika mendapat email "terpilih" sebagai peserta Blogshop "A to Z Kompasiana, Optimasi Konten Blog Kamu di Kompasiana!" Ternyata yang nonton ruame, baik di platform Kompasiana maupun lewat Youtube.
Tapi tetap gak sia-sia dong, ilmu yang dibagi mbak siapa itu, lumayan banyak. Salah satunya, terkait orisinalitas. Inilah yang membuatku bimbang saat melewati pasar tadi.