Setelah mengirim bukti transfer SPP April ke TU Sekolah, suamiku tertawa. "Kita yang ngajar, kita yang bayar."
Kami sama-sama berusaha tetap tenang, beberapa temanku dan teman suami berprofesi sebagai guru. Mereka juga mengeluhkan tekanan dinas yang katanya mewajibkan setor bukti mengajar setiap hari.
Aku tidak tahu di mana letak salahnya. Si sulung ketiban tugas yang tak ada habisnya. Orangtua yang meski di rumah tapi tetap harus bekerja, akhirnya ikut direpotkan.
Sudah komplain ke kepala sekolah, sedikit pun tak ada perubahan. Malah guru mengaku ditekan oleh dinas. Sementara, di sekolah lain tidak demikian. Sekolah atau dinas?
Sedangkan si bungsu, habis salat Subuh bisa tidur lagi sampai siang. Kalau syarat-syarat dari kami, orangtuanya, terpenuhi, dia bisa main HP. Makan, tidur, main suka-suka, tanpa diganggu tugas sedikit pun.
Tapi si adik ini sekolahnya di madrasah. Berarti sekolah menginduk ke departemen agama, bukan dinas pendidikan seperti sekolah kakaknya.
Kutanya kakak kelas si adik, ternyata untuk kelas tinggi tetap ada pembelajaran. Tugas yang disetor hanya bukti salat Duha. Berarti anakku bisa santuy sebenar-benar libur karena ia masih kelas satu.
Tapi kondisi tiap hari kedua anak ini jadi kontras. Yang satu ngomel-ngomel karena kebanyakan tugas. Satu lagi lompat sana-sini, menggambar di dinding rumah sampai ke telapak kaki. Satu kebanyakan kerjaan, satu lagi kurang kerjaan.

Aku tak ingin menekan anak, karena aku pun pernah jadi anak-anak. Mana enak rasanya melakukan sesuatu di bawah paksaan.
Sebelum jadi orang dewasa pun aku sudah tahu, anak-anak juga bisa stres! Berkali-kali aku dan suami saling mengingatkan, jangan stres. Karena stres bisa memengaruhi daya tahan tubuh. Kekuatan kita saat ini melawan Corona adalah dengan menjaga imunitas, jaga jarak dengan orang lain, dan doa. Cuma itu.