Dalam sebuah kelas bisnis, coach memberi contoh sederhana perbedaan antara pedagang dan pebisnis. Lebih kurang begini: Si A dan B sama-sama pedagang bakso. Awalnya keduanya memiliki satu gerobak yang didorong keliling kampung.
Sepuluh tahun kemudian, A sudah memiliki ruko. Tinggal dan berjualan di sana. Sedangkan B, ia punya satu ruko dan lima cabang warung bakso. A tetap menekuni usaha baksonya, membuat dan menjual. Beda dengan si B. Ia mempercayakan bisnisnya pada karyawan dan fokus pada pengembangan usaha.
Jadi, A adalah pedagang sedangkan B adalah pebisnis.
Tiba-tiba aku pun merasa salah masuk kelas. Jika disuruh memilih, aku justru merasa nyaman jadi si A. Menekuni yang sudah ada. Uang yang berkarung-karung (di kepalaku) bisa ditabung atau dibelikan tanah yang harganya gak mungkin turun.
Dengan begitu aku masih punya waktu untuk baca buku, jalan-jalan, atau ngobrol santai dengan keluarga. Bandingkan kalau jadi si B. Pasti hidupku akan penuh pertaruhan. Setiap hari diburu tagihan, bayar angsuran bank, pajak, belum lagi tiap bulan bayar gaji, tiap tahun bayar sewa ruko untuk beberapa cabang.
Prasangkaku mengatakan, B punya banyak rekan bisnis yang jika mengadakan pertemuan mesti bermewah-mewah untuk menunjukkan kelasnya. Mereka bercerita tentang peluang dan perkembangan usaha masing-masing. Tapi ini hanya prasangkaku, kan aku bukan pebisnis.
Aku yang gak jualan bakso tapi lebih suka jadi si A, akan memilih berteman dengan banyak orang dan menyaring mana yang tepat dijadikan sahabat. Bisa ngumpul cuma modal kuaci, haha hihi tanpa mikirin gengsi. Nongkrong bareng tanpa nunggu ada kepentingan khusus.
Pada sesi berikutnya, coach lain menyampaikan hal yang lebih mengerikan lagi. Jadi pebisnis harus siap tanggung risiko. Hari ini untung besar, besok bisa jadi rugi besar. Setiap hari harus siap kalau sewaktu-waktu bangkrut. Aduh, belum kaya aja aku sudah jiper duluan. Alih-alih merasa tertantang, malah yakin benar-benar salah masuk kelas.
Itulah yang dinamakan mental. Kalau mental ini terhubung ke bakat, artinya aku gak berbakat jadi pebisnis. Tapi apakah kaya itu harus dari bisnis? Dan apakah kaya itu harus berupa harta? Bagaimana jika harta yang banyak itu belum semuanya lunas? Lalu, dengan harta yang banyak apakah itu jaminan kebahagiaan?
Kulihat sekeliling, banyak orang kaya yang tidak bahagia. Apalagi yang miskin. Aku realistis kok. Tapi ketika kondisi ekonomi semakin terpuruk begini, kulihat banyak pebisnis berjatuhan. Jatuhnya lebih parah dari yang memang terbiasa susah.
Tak berani kuhitung, berapa orang di sekitarku yang semula gagah mewah tahu-tahu lesu. Meski masih ke sana kemari dengan mobil bagus, yang aku ikut cemas, tinggal menunggu waktu untuk pindah tangan. Ada yang sedang dipertahankannya, minimal air mata yang menggantung di balik kacamata.