Aku bukan pencinta hujan. Tapi kalau hujan turun, ada hal yang sangat aku syukuri, yaitu bersihnya teras dan titian depan rumah dari kotoran ayam. Ayam-ayam yang membuat frustasi. Sebab jumlahnya banyak, pup di sembarang tempat, dan pantang melihat sampah yang belum dibuang atau dibakar.
Benar-benar simalakama. Aku termasuk orang yang segan membakar sampah. Selain melanggar aturan, asapnya bikin gak nyaman bernapas.
Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2013 tentang pengelolaan sampah, warga dilarang membuang sampah ke TPS di luar jadwal (pukul 18:00---06:00 WIB). Tapi enggak dibuang, dihambur-hamburkan ayam. Hhft!
Selain larangan membakar sampah, Ketua RT juga pernah menyampaikan tentang peraturan wali kota yang mengimbau warga agar tidak memelihara ayam. Sebab ini kota, padat penduduk. Jika sudah telanjur punya, ayam wajib dikandang.
Pup ayam berbagai ukuran menyambut kami sepanjang hari. Tinggal siram? Jadwal PDAM di wilayah ini, lebih banyak mati daripada menyala. Awal-awal pindah aku dan anak-anak bahkan sering menumpang mandi di rumah saudara.
Belum lagi pada musim tertentu, ayam-ayam yang entah milik siapa ini, berteriak dan mengais-ngais di berbagai penjuru. Berisiknya minta ampun. Terbayang yang punya bayi, alangkah repot menidurkan anak.
Tepat di sebelah rumahku, seorang nenek dan anaknya kerap melempari ayam-ayam ini. Dengan suara lantang kadang mereka berteriak, "Oi, ayam orang niii! Dikasih makan apo idak? Ngotori rumah orang ni ha!"
Aku yakin si empunya pasti mendengar. Tapi entah kenapa, sanggup diam saja.
Saat menulis artikel ini, di samping kamarku terdengar suara kaki ayam mengais entah benda apa, yang benar-benar bikin gak nyaman telinga. Mungkin aku mengidap misophonia.
Tapi aku tahu apa yang akan terjadi jika aku keluar untuk mengusir ayam-ayam itu. Mereka akan datang lagi dan lagi. Malah aku yang capek sendiri. Yang lebih buruk dari ini pernah terjadi.
Suatu hari aku mengeluarkan litter box kucingku, karena suami belum membersihkannya. Rasanya belum lama kotak pasir itu berada di luar, tahu-tahu aroma pup kucing menguar hingga ke dalam rumah.
Apa pasal? Kotak pasir berisi kotoran kucing itu dicekeri (apa sih bahasa Indonesianya?) ayam hingga buyar di samping rumah! Padahal sebelumnya tidak berbau sama sekali karena memakai pasir khusus. Kuletakkan di luar karena aku terganggu melihat isinya yang banyak.
Alhasil, aku tak mau buka pintu. "Tetangga macam apa ini, Abi?" kesalku. Tapi suamiku dengan santai menenangkan. "Namanya juga hewan, mau diapain?"
"Yang punya kan bukan hewan," jawabku.
Setelah musim ceker-ceker dan teriak-teriak, akan tiba musim di mana ayam itu meletakkan telurnya sembarangan.
Sekali waktu, sebutir telur ayam tergeletak di kandang kucingku. Kuambil dan kuantar ke tetangga sebelah. Katanya itu bukan telur ayamnya. Oh, jadi yang suka menggangguku bukan ayam si ibu.Â
Padahal aku berniat sekalian bilang, ayamnya menguras emosiku. Besoknya di dekat dapur, ketemu telur lagi. Kuantar lagi, karena ibu yang kemarin kudatangi jelas memelihara banyak ayam. Lagi-lagi dia bilang bukan telur ayamnya.
Berapa hari berselang, seorang anak celingak-celinguk di kandang kucingku. Kupikir dia hanya ingin melihat angora peliharaan kami. Sore berikutnya, dia begitu lagi. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Anak itu pasti mencari telur ayam! Berarti dia yang punya.
Kutunggu sore berikutnya, ingin kuminta dia bawa sekalian pup ayam di sekeliling rumah ini. Jangan hanya mencari telurnya! Biar dia lapor mak bapaknya sana, siapa takut!
Sedang menunggu, tahu-tahu tetangga dua rumah dariku teriak. "Aifah, kucing kau tu kurung bae! Handuk aku dikencinginyo!" Aku keluar, melihat seorang ibu berperawakan kecil bersungut-sungut. Anakku diteriaki, maknya keluar dia kabur.
"Namanya juga kucing. Binatang ngerti apa?" balas si ibu yang punya banyak ayam.
Aku kembali ke rumah. Masuk. Bikin kopi, lalu rebahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI