3 Oktober 2016, kutinggalkan kantor dengan perasaan sedih dan jengkel yang luar biasa. Sama sekali tidak ada penyesalan meninggalkan tempatku mencari nafkah selama 7 tahun itu.Â
Kalaupun ada yang disesalkan, adalah alasan kenapa aku harus sakit hati pada orang yang paling kuhormati di sana.
Duh, admin Kompasiana bikin korengku basah lagi ah!
Ada yang mengganjal dari sekian banyak kebijakan. Aku yang susah diam melihat sesuatu yang "aneh" memilih bersuara. Dan dapatlah aku pelajaran, selama kita numpang makan di tempat orang, standar benar salah ada di tangan orang tersebut.Â
Sebesar apa pun jasamu, sebutuh apa pun tempat itu padamu, masih banyak orang lain yang bisa menggantikan posisimu.
Hikmahnya lagi, aku meyakini setiap orang akan diuji dengan ucapannya. Setiap orang, pada masanya akan dipaksa oleh keadaan untuk membuktikan apa yang pernah ia katakan.Â
Inilah salah satu sebab aku kurang begitu sreg dengan motivator yang memotivasi orang lain, sementara ia belum pernah merasakan hal yang sama, yang sedang dialami oleh orang yang ia motivasi.
Ini juga sebab aku lebih banyak menghindar jika orang curhat soal rumah tangga. Khawatir suatu saat aku diuji untuk membuktikan ucapanku. Berat!
Sejak setahun terakhir, di 2016 itu aku sudah mengupayakan pertahanan terbaik. Berusaha mencintai pekerjaan, dengan berbagai alasan yang kumunculkan. Dari sekadar wifi gratis, sampai kesempatan untuk bisa salat Duha tiap hari.
Ketika curhat pada seorang teman, ia selalu menganjurkan untuk bertahan. Sebab tidak banyak tempat kerja di dunia ini yang lingkungannya sekondusif di tempatku.
Kuakui, teman-teman di sana terhitung baik. Teman satu ruang sama sekali bukan tipe penggosip, kami saling membela satu sama lain. Tapi kalaupun ada teman sejajar yang buruk, masih bisa diabaikan. Kalau atasan?