Untuk yang kesekian puluh kalinya, aku datang ke BPN. Kantor Pertanahan Kota. Iya, akronimnya gak nyambung. Suka-suka mereka ajalah.
Khasnya masyarakat kekinian, dari anak-anak sampai lansia, jika sedang dalam antrean, barang andalannya adalah ponsel pintar. Sekali waktu, aku pergi dalam keadaan lupa mencharge HP. Jadilah sesampainya di sana, baterai HP kurang dari 50%.
Sebenarnya baterai segitu masih cukup untuk hapus-hapus file, baca buku elektronik, atau kegiatan lainnya yang tidak menguras baterai. Kalau perlu, matikan data untuk menutup akses aplikasi melakukan sinkronisasi dsb. Tapi aku punya niat yang lebih mulia; baca buku!
Kalau tak ganti tas, biasanya aku memang menyelipkan satu buku untuk dibaca dalam perjalanan atau antrean. Karena meski tidak sibuk-sibuk amat, waktu untuk membaca buku kadang terasa begitu sempit.
Setiap Gramedia mengadakan promo di lantai dasar, aku hampir selalu menyempatkan diri mampir dan beli beberapa. Beli aja dulu, bacanya bisa kapan-kapan. Maka saat aku tengah antre di BPN itulah, kudapatkan salah satu novel terjemah di dalam tas, lalu kubaca sembari menunggu nomorku dipanggil.
Seperti dugaanku, banyak wajah heran di sekitar. Gila, hari gini baca buku! Semua orang menundukkan kepala untuk melihat HP, aku sendiri yang pegang buku. Keren dong! Bukan gaya-gayaan sih, selain untuk melayani hobi, aku memang ingin orang terinspirasi. Baca buku itu menyenangkan! Ada ratusan ebook di gawaiku, tapi membaca buku cetakan rasanya jauh lebih nikmat ketimbang dari HP atau laptop.
Judul novel tak perlu kusebutkan ya, khawatirnya malah dicari. Ceritanya tentang seorang laki-laki yang sempat jadi sampah masyarakat. Ia kemudian lari ke kota lain, lalu diselamatkan oleh seorang hakim. Ternyata setelah belasan tahun, seseorang mengabari bahwa ia punya anak di kota asalnya, dari salah satu perempuan yang pernah ia tiduri. Dan anak itu kini dalam masalah besar. Maka ia kembali ke kotanya, sebagai seseorang yang berbeda.
Kisahnya rumit tapi menarik. Di benakku, gambarannya seperti telenovela. Tapi tidak konyol layaknya FTV atau sinetron unlogic yang bertebaran di TV. Sayangnya, beberapa kali kutemukan adegan yang tak enak dibaca. Untungnya saat dilewati, ia tidak membuat pembaca tertinggal adegan penting.
Setelah nomor antreanku disebut, buku itu kusimpan kembali ke dalam tas. Lama tak terjamah. Sampai ada waktu dan aku menemukannya kembali. Jika tas tersebut sedang di kamar belakang, dan aku ada di kamar tengah, maka yang kubaca adalah buku yang berserak di sebelah meja kerjaku. Sampai kemudian, aku ingat dengan kisah pada novel tersebut, dan memutuskan untuk meneruskan baca hingga tamat. Asli penasaran.
Setelah membaca lebih dari separuhnya, kemudian kusadari. Buku ini sepertinya lahir bersamaan dengan momen larisnya novel lain yang kemudian diangkat ke layar kaca. Buku dan filmnya laris, padahal isinya menjijikkan. Ya ... bisa dibilang, novel ini adalah novel erotis! Ceritanya sih lebih berkelas ketimbang novel yang kabarnya mega best seller itu. Tapi tetap saja, adegannya agak sulit untuk kumaklumi.Â
Oke, tadinya kupikir wajar ada adegan begituan. Kan ceritanya tentang PSK, dan latarnya Amerika. Mungkin orang Barat memang begitu, hubungan seks bukan dengan pasangan sah dianggap biasa. Bahkan ketika salah satu tokoh terkena AIDS, yang dianggap penyebab oleh penulisnya adalah narkoba, sama sekali tak menyinggung soal free sex yang dilakukan beberapa tokoh.