Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lagi-lagi Soal Ucapan Selamat Natal

21 Desember 2019   20:29 Diperbarui: 21 Desember 2019   20:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Mourad Saadi on Unsplash

Setiap ujung tahun, tema kita belakangan ini tidak jauh-jauh dari resolusi (yang kemudian dikhianati), liburan, tahun baru, dan kontroversi ucapan selamat natal.

Berulang-ulang dibahas dan diulang-ulang pula perdebatannya. Jadi seperti memperingati ulang tahun perdebatan.

Contohnya di Twitter. Yang pro ucapan selamat natal menghambur-hamburkan kuota untuk unggah video ulama yang pro. Demikian pula yang kontra. Padahal kalau mau membaca ulang tweet sendiri, rasanya postingan serupa juga kita bagi di tahun yang lalu, lalu, dan lalu lagi.

Gak sepenuhnya salah sih, kalau niatnya untuk berbagi opini dan upaya menasihati orang lain. Yang jadi salah, ketika gaya penyampaian yang ngegas itu loh! Maunya kalau ngomong semua orang manut. Lah ente siapa? Nabi aja disangkal banyak orang, kok yang sama banyak dosanya ibarat noyor-noyor kepala orang.

Waktu kecil dulu, setiap Desember kami biasa bertandang ke rumah tetangga yang Kristen. Mereka dengan senang hati membukakan pintu, memberi macam-macam makanan, bahkan duit.

Makin bertambah usia, diberi tahu oleh ustaz, tidak boleh mengucapkan selamat natal. Dan memang kami tidak mengucapkan selamat natal. Hanya datang, makan, dapat amplop, pulang.

Yang kami tahu dulu itu, orang Batak lagi lebaran. Sebutan orang Batak ini pun baru disadari kekeliruannya setelah lewat masa itu.

Nalar kanak-kanak kami belum bisa membedakan mana suku mana agama. Bahkan dulu kami kira di dunia ini hanya ada Islam dan Kristen. Kalau tampangnya bukan Melayu, berarti dia Kristen. Padahal Batak kan bau-bau Melayu juga.

Sudah belajar di sekolah tentang agama-agama di Indonesia dan macam-macam suku. Tapi dasar bebal, kami tahunya main.

Nah setelah tahu dilarang mengucapkan selamat natal, tidak ada yang berubah. Kami tetap belanja di toko-toko orang Cina. Entah mereka merayakan natal atau tidak (kan kami tidak tahu agamanya). Kami tetap main bersama, entah itu Batak, Minang, Jawa. Kami tidak melihat perbedaan.

Kalau sekarang elit sibuk dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, dan macam-macam istilah. Kok ya kayak ada sesuatu. Seolah memaksakan munculnya gesekan di masyarakat. Padahal sampai sekarang pun, Alhamdulillah tidak ada masalah berarti soal perbedaan agama dan suku, paling tidak di sekitar rumahku. Bahkan di kota kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun