Harga bubur seporsinya 7.000 rupiah. Kakek yang sepertinya sama introvert denganku, tak banyak bicara. Menyendok bubur perlahan, memasukkan ke plastik, lalu mengikatnya tanpa bicara sepatah pun. Bahkan reaksinya datar saja saat aku memberi uang yang tak ingin kuterima kembaliannya. Toslah kita, Kek! Introvert mah ajaib!
Dari halte, kutuju kantor pos, hendak membayar tagihan air. Suami sudah mewanti-wanti agar segera dibayar. Sebab kabarnya denda keterlambatan dihitung per hari dengan angka yang lumayan. Membayar tagihan PDAM Tirta Mayang tidak seperti PLN atau BPJS yang bisa di mana saja, itulah kendalanya.
Aku sering membayar tagihan lewat rekening mobile atau aplikasi di HP. Tapi untuk PDAM, harus ke pos! Itu pun tidak bisa sembarang tanggal dan jam. Belum keluar tagihan, atau sedang gangguan. Bertahun-tahun begitu.
Tagihan PDAM kena 100 ribu pas. Sekilas kubaca di kwitansi, 97 ribu sekian. Dalam perjalanan menuju parkiran kupertimbangkan. Komplain demi uang dua ribu sekian, atau ikhlaskan saja? Kalau kubiarkan, dia akan mengulang perbuatannya. Memang cuma 2.000 perak, tapi itu bagian dari karakter. Tapi kalau aku komplain dan dia gak terima, bisa jadi keributan. Malu ah, duit segitu jadi bahan!
Untunglah aku batal komplain. Setelah sampai di rumah, ternyata tagihannya memang seratus ribu! Aku yang melihatnya hanya sekilas. Wah dosa nganggur, sudah su'uzhon pada orang lain.
Kutunggu telepon dari petugas kelurahan yang berjanji akan menghubungi jika berkas telah ditandatangani. Karena tak kunjung ada panggilan, kuputuskan pulang. Seorang kakak yang sekarang menunggui rumah Mamak kupesan, nanti tolong ambil berkas di kelurahan.
Nasibku sama dengan Mamak puluhan tahun silam. Lain yang ditunggu, lain yang datang. Alih-alih ditelepon pegawai kelurahan, malah kakakku lapor. Pak Lurahnya minta duit dulu, baru mau tanda tangan! Ambyaaar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H