"Danau Sipin itu satu-satunyo danau di Indonesia yang ado di tengah kota!" begitu semangatnya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Jambi menyampaikan padaku. "Angkatlah di tulisan kamu!" pesannya lagi, saat aku dan kawanku mampir ke sana untuk wawancara.
Sebenarnya, kami datang dalam rangka mengumpulkan data untuk bahan buku mulok SD. Tapi karena kawanku trauma berhadapan dengan ASN yang tak ramah ketika mendengar kata "proyek buku", akhirnya kami menyamar sebagai penulis yang tengah riset untuk kepentingan "tanpa duit negara".
Agak takjub juga mendengar klaim si bapak. Akhirnya ada juga yang terpikir untuk membuka Danau Sipin sebagai kawasan wisata. Sebab danau ini sejak dulu memang kurasakan keindahannya.
Waktu masih jomlo, aku dan kawanku suka duduk di pinggir danau ini sambil ngemil ayam krispi. Pulang kerja, aku mampir dulu untuk mengambil gambar danau dari semak-semak pinggir jalan. Sayang, foto-foto itu entah tersimpan di hard disk yang mana. Dulu penyimpanan awan belum lagi populer.
Sekira tahun 2008 aku pernah mengantar kawan ke rumahnya yang berada di pinggir Danau Sipin. Di halaman rumah, kulihat ada semacam tiang atau tonggak kecil yang susunannya tak beraturan. Jadi aku nyeletuk santai, "Eh pagar kalian ini kenapa dak dirapiin sih? Centang perenang begini. Mending cabut sekalian!"
"Itu bukan pagar, tapi nisan!" jawabnya.
Kaget pasti.
"Kato orang-orang tuo sini, itu nisan Belando. Banyak kok dari sini sampe ke sano. Kalo awak sanggup, cabutlah! Paling-paling gek sakit," katanya lagi.  Â
Selanjutnya ia pun lancar bercerita tentang tonggak-tonggak "sakti" itu. Yang mana tak satu pun berhasil dipindahkan. Bahkan yang berniat memindahkan justru sakit demam.
Pengin sih meluruskan, bahwa demam itu bukan sakit. Tapi sinyal dari tubuh bahwa ada yang tak beres di dalam sana. Dan jelas saja dia demam, kerja keras dengan tangan kosong, dihantui sugesti negatif pula. Hebat amat makam penjajah bisa sesakti itu! Ah, tapi akan lebih buruk hasilnya kalau aku cerewet di kampung orang.