Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Iseng-Iseng Berujung Sakit Hati

25 November 2019   20:42 Diperbarui: 25 November 2019   20:38 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah kutulis sebelumnya, aku tidak akan pernah mengikut lomba cerpen berbayar. Apalagi dengan tambahan syarat follow ini, mention itu, posting poster, share minimal sekian grup, dll syarat yang menunjukkan panitianya banyak tingkah.

Alasannya: satu, aku males. Dua, cerpenku gak bagus-bagus amat, sayang kan duitnya. Tiga, trauma.

Terkait alasan ketiga, aku punya pengalaman buruk yang harus diketahui kawan-kawan penulis pemula (seperti aku ini).

Tahun 2016, sebuah penerbitan tidak terkenal mengadakan lomba cerpen berbayar. Dari awal sebenarnya aku gak minat. Tapi ketika melihat calon pesertanya rata-rata tidak begitu dikenal di kalangan cerpenis, sebagian lagi bahkan terasa alay-nya (kulihat dari komentar yang ada di postingan pengumuman lomba itu), maka kupikir ini adalah lomba yang mudah untuk dimenangkan.

Iya, kadang-kadang aku memang mendadak sombong. Ujungnya blangsak.

Kalau tak salah, bayarnya 20 ribu per naskah. Gak mahal juga, jadi kucoba saja. Kalau biasanya untuk lomba aku sering mengangkat kearifan lokal, kali ini (dengan anggapan musuhnya remeh) kukirim cerpen lama saja. Ngepop, berlatar perumahan. Tapi insyaallah tetap ada nilai moralnya.

Hadiah yang dijanjikan murah saja, hanya sejuta lima ratus. Cukup jauh dibanding umumnya sebuah sayembara sastra. Okelah, dapat juara tiga pun tak masalah. Entah berapa ratus.

Mungkin di saat yang sama, ada penulis lain yang berpikiran sama denganku. Bedanya mereka lebih serius, dan mungkin memang lebih jago dariku. Alhasil, aku kalah. Sedih? Nggak juga. Itu kekalahan kesekian ratus.

Tapi aku jengkel setengah mati. Sebab, cerpenku masuk dalam 10 atau berapa naskah yang dibukukan bersama pemenang. Alih-alih mendapat royalty, atau jual putus agak seribu perak. Untuk mendapatkan bukti cetaknya aku bahkan disuruh beli. Kurasa iblis kalah licik dibanding penyelenggara lomba ini.

Setelah melihat komentar yang membludak (menunjukkan banyaknya jumlah peserta), kutaksir penerbit ini pasti dapat untung berlipat-lipat. Sebab hadiah receh yang mereka beri pada pemenang belum sebanding dengan jumlah uang pendaftaran yang berhasil mereka kumpulkan.

Bayangkan, berapa lagi keuntungan yang mereka dapat dari penulis-penulis lugu yang ingin melihat nama mereka tercantum di antologi terbitan penerbit ini? Belum lagi peserta yang penasaran, gimana sih contoh naskah cerpen yang bisa menang dan masuk nominasi? Ah parah, sumpah! Sejak itu kuharamkan diriku ikut lomba cerpen berbayar. Pastilah itu kerjaan penerbit ecek-ecek yang bisanya memanfaatkan kebodohan penulis receh sekelasku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun