Waktu kecil, aku punya musuh bebuyutan yang kusebut Wak Mati. Nama aslinya Maryati, lebih tua dari ibuku, sehingga dipanggil Uak. Hanya modal kesamaan suku, perempuan 'kejam' itu punya kuasa di rumahku, seperti di rumah adik kandungnya sendiri.
Jika ia sedang di rumahku, niat minta uang jajan lebih baik ditahan. Mamak---ibuku, tak bakal memberi, sebab sudah dihasutnya lebih dulu. Dulu aku menyimpulkan, Wak Mati tak suka anak-anak, sebab tingkat kecerewetannya pada anak kecil tak terbanding oleh siapa pun di kampung kami.
Jika sakit, ancaman klasik Mamak adalah, "Sini Mamak kerok, gek Wak Mati datang!" maksudnya, kalau aku tidak mau dikerok Mamak, maka Wak Mati yang akan mengerok. Wak Mati tak suka merayu, kalau mengerok anak-anak, sekuat tenaga dibelitnya si anak di antara dua kaki. Satu tangan memegangi, tangan satu lagi untuk mengerok punggung. Membayangkan saja rasanya mau pingsan.
Kini sudah lebih dua puluh tahun berlalu. Pertama kali punya anak, temanku yang seorang perawat di sebuah puskesmas sering berpesan, kalau anak sakit, jangan langsung diberi obat kimia. Jika demam, balur saja dengan minyak dan bawang.
Minyak dan bawang merah, disarankan oleh seorang tenaga medis? Aku kira dua benda itu hanya alat propaganda Wak Mati yang selalu mengajarkan hidup hemat pada Mamak. Tapi temanku tadi bilang, manusia punya antibodi yang bereaksi saat mendapat 'serangan' dari luar. Jadi biarkan kekuatan alami itu bekerja, kita bantu dengan yang alami juga. Jika tak mampu lagi, barulah beralih ke kimia. Masih menurutnya, orang yang terbiasa demikian umumnya jarang berurusan dengan rumah sakit. Sebagai awam, aku sih sekadar mendengar saja ucapannya. Tapi kemudian aku menyadari, ya begitulah kami. Masa kecil dulu, aku tak pernah sampai masuk rumah sakit, puskesmas saja jarang. Yang sering ya itu tadi, bawang merah yang dikerokkan ke punggungku oleh Bapak atau Mamak.
Sampai sekarang, jika Mamak mengeluh sakit, ia tinggal angkat telepon. Bukan memanggil dokter---kami tak punya dokter keluarga---tapi tukang urut langganan yang akan mengerok punggung Mamak. Esoknya, Mamak yang sudah tua masih segar melayani pembeli di warungnya.
Ternyata, apa yang diwariskan orang-orang tua dulu benar adanya, barangkali mereka tak  mampu menjelaskan secara ilmiah pada generasi di bawahnya, hanya mencontohkan ditambah sedikit 'tekanan' atas nama kepatuhan. Sedangkan kita sebagai generasi berikutnya, butuh penjelasan yang logis dan konkret untuk percaya. Maka pada akhirnya, tetap saja kerokan, dengan bawang ataupun logam, masih menjadi pro dan kontra.
Sebuah penelitian tentang manfaat kerokan dilakukan pada rentang 2003--2005. Adalah Didik Gunawan Tamtomo, guru besar dari FK UNS (Universitas Sebelas Maret) yang mensurvei sekira 400 orang dari berbagai latar belakang. Hasilnya, mayoritas responden mengaku masih melakukan kerokan saat masuk angin.
Istilah masuk angin sendiri tidak dikenal dalam literatur kedokteran. Umumnya kita mendefinisikan masuk angin dengan rasa kembung, mual, nyeri otot, flu, dan demam ringan.
Jika sebelumnya kerokan dianggap berbahaya, penelitian yang dilakukan Didik mematahkan anggapan tersebut. Pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS menunjukkan, gesekan pada kulit hanya mengakibatkan pelebaran pembuluh darah. Alih-alih merusak jaringan, ini justru berakibat baik, yaitu meningkatnya pasokan oksigen dalam darah.
Kerokan juga dapat meningkatkan kadar endorfin, yakni morfin alami yang diproduksi oleh sistem saraf pusat dan kelenjar hipofisis. Akibatnya, orang yang dikerok akan merasa nyaman dan berkurang rasa sakitnya.