Aku bertanya pada seseorang yang kebetulan sedang terlihat di ruang tamu sebuah rumah, “Permisi, apakah saya bisa bertemu Mbak Mila (nama samaran).
“Mau kesini nggak bilang-bilang, harusnya SMS atau telpon dulu, kita kan jadi repot, nggak tau urusannya, hari gini mau ke rumah orang main datang aja, apa susahnya telpon”.
“Maaf, saya belum punya nomor telponnya, boleh saya minta?”
“Bagaimana ini, Anda siapa? Minta nomor telpon, saya nggak bisa kasih nomor telpon sembarangan, nanti kalau ada apa-apa saya ikut bertanggung jawab”
“Saya temannya, Hp saya yang ada nomornya hilang, jadi tidak bisa menghubunginya. Boleh saya minta, akan saya telpon segera”. Lalu dengan bersungut-sungut ia mengambil Hp dan mendiktekan sederet nomor. Setelah itu aku berterima kasih dan menelpon nomor itu.
Karena suaranya orang itu cukup keras, penghuni rumah yang lain pada keluar dan bertanya ada apa. Setelah aku telpon, salah satu di antara mereka mengambilkan barang yang kubutuhkan. Lalu aku pamit meninggalkan mereka. Belum juga keluar pintu, orang yang pertama kutanya mengulangi lagi ceramahnya tentang keharusan memberi tahu kalau mau datang sehingga tidak merepotkan orang lain.
Dalam hati aku tertawa, aneh dan lucu sekali caranya berkomunikasi. Mungkin ini jenis orang yang disebut rempong oleh anak muda sekarang. Aku sendiri tidak tahu pasti apa arti rempong, tapi sepertinya pas buat dia. Pertanyaan pertamaku sangat sederhana, tapi jawabannya sungguh rumit dan lebih dari yang diharapkan. Terus terang aku kasihan, karena memberi manfaat untuk orang lain menjadi terkesan sangat menakutkan. Ya, memberi informasi tentang teman serumahnya ada di rumah atau tidak, jika ada aku ingin bertemu, jika tidak aku akan pulang. Untunglah, dia bukan satu-satunya penghuni rumah itu, teman-temannya yang lain sangat baik, mau membaca SMS teman yang kucari, mau mengambilkan barang yang kumaksud, mau berkenalan dan ngobrol dengan ramah.
Aku jadi berpikir, mungkin media yang terlalu banyak memberitakan kejahatan menjadikan banyak orang punya ketakutan berlebihan pada orang yang baru pertama kali dilihat. Di banyak tempat, misalnya bus, kereta api, terminal, rumah sakit, bank, dan lain-lain aku sering melihat orang tidak mau bertegur sapa dengan orang yang berada didekatnya, bahkan untuk menunjukkan agar tidak diganggu telinganya ditutup dengan headset, tetapi bisa tersenyum dan tertawa lepas dengan orang yang dihubungi lewat HP. Menurutku, ini tanda-tanda menurunnya nilai sosial manusia. Bahwa manusia dicerabut kemampuan bergaulnya di dunia nyata, membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang terdaftar sebagai temannya di memory telpon atau media sosial, menjadi sangat keberatan kalau disapa orang di luar daftar temannya.
Menurutku ini sungguh disayangkan.. Maka, setiap berdekatan dengan orang asing, sebisa mungkin aku menyapa, minimal tersenyum. Di antrian ATM, aku rasa tidak ada sulitnya tersenyum pada sesama peserta antri . Di kendaraan umum, tidak ada buruknya bertanya, “Akan turun di mana nanti?”, barangkali dia ketiduran aku bisa membangunkannya. Karena aku percaya pada pelajaran IPS pertama yang kupelajari, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dan aku percaya, sapaan sederhana seringkali menjadi awal komunikasi penting yang sangat berguna. Itulah silaturahim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H