Bangsa ini harus banyak belajar dan masih terus harus belajar. Mengapa tidak? Selama ini setiap tahun ajaran akan berakhir, dunia pendidikan selalu diselimuti awan mendung. Membuat wajah pendidikan negeri ini semakin suram dan kelam. Awan mendung itu seolah siap memuntahkan berliter-liter kubik air dan meniupkan angin kencang yang maha dahsyat sehingga mampu memporak-porandakan dunia pendidikan.
Lantas, apakah awan mendung itu?
Ujian Nasional atau biasa disingkat UN adalah jawabannya. Berbagai pro dan kontra senantiasa mengiringi penyelenggaraan UN di Indonesia. Sebagian berpendapat bahwa UN harus tetap diselenggarakan karena menjadi indikator evaluasi proses belajar siswa selama tiga tahun. Sebagian lagi berpendapat kalau UN tidak perlu diselenggarakan karena nasib lulus tidaknya siswa tidak harus ditentukan oleh UN yang hanya beberapa hari. Pihak ini beranggapan, kelulusan siswa yang ditentukan dari hasil UN tidak sepadan dengan usaha belajar siswa selama tiga tahun.
Perdebatan soal perlu tidaknya UN diselenggarakan tidak seharusnya berlanjut, toh UN juga akan terus berjalan. Sebenarnya yang menjadi perdebatan dua kubu tersebut adalah sistem dan teknis penyelenggaraan UN yang menimbulkan sugesti negatif bagi kebanyakan orang sehingga menjatuhkan mental mereka sampai titik paling rendah. Ujian Nasional, selayaknya disambut dengan gegap gempita seperti sebuah pesta rakyat. Ibarat lawatan akbar, euforia UN seharusnya semeriah bahkan melebihi semangat pesta Piala Dunia. Apa bisa UN dianalogikan dengan Piala Dunia?
Jawabannya BISA dan memang harus seperti itu. Aura positif dari lingkungan akan memberikan dampak yang luar biasa hebat bagi siswa dalam menghadapi UN. Kalau kita perhatikan persiapan dan semangat para suporter sepak bola dalam menyambut Piala Dunia, begitu antusiasnya. Seandainya saja para guru dan orang tua bahkan negara juga mengkondisikan UN seperti para maniak bola itu, menyemangati dan memberikan dukungan habis-habisan kepada atletnya (dalam hal ini adalah siswa itu sendiri) pasti UN tidak lagi jadi beban mental.
Teringat akan buku yang ditulis oleh Yohannes Surya, Mestakung (Semesta Mendukung). Buku itu menceritakan bagaimana seseorang yang ingin meraih sesuatu dan berharap kesuksesan akannya senantiasa mengkondisikan diri serta lingkungannya agar tetap fokus untuk mencapai itu. Yohannes mengungkapkan bahwa alam semesta ini akan mendukung segala usaha yang kita lakukan jika semUNya kita jadikan variabel terkontrol sehingga sedemikian mungkin kondisi tersebut cenderung berpihak kepada kita.
Cerita lain lagi diungkapkan oleh A. Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara. Setiap akan diselenggarakan ujian di Pondok Madani, para santri dimanjakan dengan makanan yang bergizi, bebas tugas untuk meronda, dan semua ustadz serta elemen pondok memberikan dukungan penuh kepada santri dengan siap menjawab serta menjelaskan panjang lebar materi yang dianggap belum dimengerti oleh santri. Suasana pondok pun dikondisikan semeriah mungkin dalam menyambut ujian dengan dipasangnya baliho super besar bertuliskan dukungan kepada santri untuk tetap bersemangat menempuh ujian.
Semua itu dilakukan untuk menciptakan pengaruh positif sehingga pandangan UN sebagai horor yang menciutkan nyali para siswa melebur seiring dengan semangat serta keberanian mereka menghadapi ujian akbar itu. Kepercayaan diri para pencari ilmu akan terus berkobar, tanpa perlu adanya bekal bocoran kunci jawaban atau pengaturan apa pun yang mengindikasikan kecurangan dalam ujian. Seberapa beratnya ujian akan terasa ringan jika usaha keras siswa yang diselimuti rasa percaya akan dirinya sendiri serta dukungan dari lingkungan sekitar. Tradisi istighasah atau doa bersama yang rutin diadakan beberapa sekolah dalam menyambut ujian nasional menjadi penggenap perjuangan sekaligus mengantarkan para siswa menuju medan perang. Sebab tak ada kesuksesan tanpa kerja keras dan doa.
Aahhh....alangkah indahnya negeri ini jika itu benar terjadi. Ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah selaku penyelenggara pendidikan dan para pendidik, tapi juga menjadi pekerjaan rumah semua lapisan masyarakat termasuk orang tua siswa.
Pesta rakyat dunia pendidikan pun berlangsung singkat, hanya 4 hari. Tak ada perayaan yang berarti selama persiapan hingga berakhirnya UN untuk tingkat SMA tersebut. Namun pesta rakyat belum benar-benar berakhir tahun ini, karena estafet ujian akan terus bergulir untuk tingkat SMP dan SD. Semoga bibit-bibit kemeriahan UN bisa muncul di permukaan dunia pendidikan sehingga tak ada lagi anggapan negatif UN sebagai momok yang menakutkan. Harapan UN menjadi pesta rakyat dunia pendidikan Indonesia masih ada selama kita peduli akannya dan mulai bergerak dari sekarang membangkitkan euforia ujian nasional. Dimulai dari lingkungan keluarga, berlanjut ke lingkungan sekolah hingga nantinya virus semangat ujian nasional bisa menggila sampai seluruh negeri ini.
Ayo...! Semarakan perhelatan akbar para siswa di ujian nasional. Wujudkan kemeriahannya dengan semangat gegap gempita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H