Mohon tunggu...
Sumi Arrofi
Sumi Arrofi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang wanita asal Jawa, tapi lahir di Jakarta, tumbuh dan berkembang di Bekasi, kuliah di Bogor. Postur tubuh tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Berat Badan ideal. Banyak yang bilang chabi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Man Jadda Wajada: Mentransformasi Keputusan Setengah Hati Jadi Mimpi Nyata

26 Maret 2012   13:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan November 2011 menjadi bulan bersejarah bagi saya. Saat itu saya masih wara-wiri di kampus, aktif mengikuti seminar dan perlombaan menulis. Meskipun saya sudah dinyatakan lulus S1 secara de jure, namun agenda wisuda kelulusan sebagai bukti de facto saya lulus, masih menunggu bulan berikutnya.

Sabtu, 19 November 2011

Saya bertemu langsung dengan seorang penulis novel best seller Indonesia. Beliau adalah Ahmad Fuadi, penulis novel trilogi Negeri 5 Menara. Keberuntungan saat itu memihak saya, sekitar 3 hari sebelumnya saya membaca pengumuman yang ditempel di mading sepanjang koridor kampus. Sebuah kertas pamflet di sudut mading menarik perhatian saya. Bukan karena desain pamflet yang menarik, melainkan kalimat provokatif yang tertulis di kertas itu. Perasaan antusias semakin menjadi ketika membaca nama pembicara yang akan hadir ditambah tulisan “GRATIS” bagi peserta. Subhanalloh..Wow!

Tanpa pikir panjang lagi, saya segera menggerakan jempol menekan tombol ponsel. Setelah mengetik format pendaftaran peserta pelatihan menulis, saya langsung mengirimkan pesan ke nomor yang tertera pada pamflet. Malam harinya saya mendapat balasan dari panitia yang isinya mengingatkan untuk hadir seminar pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Alhamdulillah, saya merasa beruntung masih bisa mendaftar jadi peserta.

Dan di sinilah saya bertemu dan mendengarkan Ahmad Fuadi bercerita. Cerita yang tidak hanya menginspirasi tapi juga memotivasi. Pada akhir sesi, beliau memutarkan cuplikan film Negeri 5 Menara yang diadopsi langsung dari novelnya. Luar biasa, baru cuplikannya saja (itu pun kata Ahmad Fuadi masih harus diedit) saya sudah merasakan semangat Man Jadda Wajada apalagi nanti kalau menonton keseluruhan filmnya. Fantastik! Saya pun berazam akan menonton filmnya nanti di hari pertama film tersebut diputar.

Azam itu terwujud pada tanggal 1 Maret 2012. Sebenarnya, hampir saja saya batal menonton film Negeri 5 Menara bersama dengan sahabat-sahabat terbaik saya dikarenakan keterbatasan uang bulanan yang saya miliki. Namun ternyata Alloh memberikan saya kesempatan untuk menonton film perdana Negeri 5 Menara. Saat itu uang yang saya miliki benar-benar ngepas banget untuk ongkos pulang dan nonton. Untungnya saya masih bisa sampai di rumah.

Man Jadda Wajada, menjadi mantra sakti yang terus didengungkan sepanjang adegan film Negeri 5 Menara. Pesannya sederhana namun penuh makna. Studio bioskop seakan dipenuhi dengan semangat Man Jadda Wajada yang terus menggema. Menyihir penonton yang menyaksikannya. Beberapa adegan mengundang gelak tawa saat Baso bersama Sohibul Menara melintas di depan sekolah SMA. Saat itu para siswi SMA sedang berkumpul di lapangan sekolah. Baso yang menjaga pandangan matanya untuk tidak melihat ke arah para siswi SMA tersebut menjadi tidak fokus mengendarai sepeda dan akhirnya menabrak batu besar. Tabrakan beruntun antara Sohibul Menara pun tak terelakan.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari film Negeri 5 Menara. Salah satunya yang paling berkesan bagi saya adalah keputusan setengah hati yang pada akhirnya mampu mewujudkan mimpi. Alif, tokoh utama film ini menerima keinginan Amak-nya untuk melanjutkan sekolah di pesantren. Berat hati Alif menerima dan menjalankan keinginan tersebut. Ia mengubur semua impiannya untuk bersekolah di SMA dan melanjutkan kuliah ke ITB, tempat mengukir mimpi untuk menjadi seperti Habibie. Namun, demi membahagiakan Amak-nya, ia berdamai dengan hatinya meski dengan keputusan setengah hati.

Tidak selamanya sesuatu yan

1332770321652957688
1332770321652957688
g dianggap baik di mata kita, baik pula di mata Sang Pencipta. Sebaliknya, sesuatu yang kita anggap buruk tidak selamanya buruk di mata Sang Pencipta. Hal itu dapat saya lihat dari kisah Alif ini. Semula ia harus melawan keras dirinya untuk meyakinkan keputusan setengah hatinya. Musuhnya adalah dirinya sendiri. Mantra Man Jadda Wajada yang diajarkan terus menerus sejak hari pertama di pondok mampu menyihir Alif untuk mewujudkan impiannya. Awan-awan mimpi yang ia lihat di bawah menara bersama Sohibul Menara kini menjadi nyata.

Nilai-nilai persahabatan juga kental menghiasi adegan demi adegan. Sahabat, menjadi pengganti keluarga yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan siap menolong setiap saat. Betapa indah persahabatan yanga diperlihatkan antara Sohibul Menara, saling mendukung dan saling membantu antara satu dengan yang lain. Arti sahabat begitu terasa saat Baso harus meninggalkan pondok di tengah tahun ajaran untuk kembali ke kampung halamannya, merawat neneknya yang sakit keras. Rasa kehilangan sahabat terbaik membuat Sohibul Menara yang lainsedih, terutama Alif. Kegalauan kembali muncul di diri Alif untuk mengikuti jejak Baso keluar dari pondok. Namun, mantra Man Jadda Wajada menampakkan keperkasaannya kembali dan mampu menjadi perisai bagi Alif melawan kebimbangannya. Alif tetap melanjutkan pendidikannya di pondok hingga selesai. Itulah semangat Man Jadda Wajada, mampu mentransformasikan keputusan setengah hati menjadi mimpi nyata.

13327707261953887290
13327707261953887290
Guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau ada penghargaaan untuk guru sejati, di Pondok Madanilah para kiai dan ustadznya yang pantas mendapatkan itu. Sebuah adegan perbincangan menarik antara Kiai Rais dengan Alif saat sesi wawancara untuk liputan Majalah Syams. Kiai Rais menyampaikan bahwa semua ustadz yang mengajar di Pondok Madani tidak memperoleh gaji. Niat mereka sepenuhnya mengajar hanya untuk Alloh. Para ustadz mewakafkan dirinya untuk pondok. Saya pun antara percaya dan tidak, apa benar mereka tidak mengharapkan gaji dari kerja keras mereka mendidik santri. Seandainya saja sistem pendidikan di Indonesia seperti itu, dipegang oleh guru-guru yang mewakafkan dirinya untuk Sang Pencipta maka betapa indah dunia pendidikan Indonesia.

Masih banyak lagi hikmah yang dapat diambil dari film Negeri 5 Menara. Bagi yang belum menonton film inirecomended deh untuk ditonton semua kalangan. Saya pun merasa belum puas menonton dan ingin segera melihat novel kedua A. Fuadi, Ranah 3 Warna juga difilmkan. Begitu juga dengan sahabat-sahabat terbaik saya, sangat berharap film kedua diluncurkan. Semoga.

1332770811844054376
1332770811844054376
Keluar dari studio bioskop, saya dan ketiga sahabat baik saya berfoto dengan latar banner Negeri 5 Menara. Foto ini menjadi saksi bahwa persahabatan kami seperti Sohibul Menara. Kami pun mendaulat diri sebagai Sohibul Soka (nama kosan tempat kami tinggal).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun