Sebuah tulisan pengantar diskusi rutin Pusat Kajian Adat Dan Budaya Samawa (PKABS) ”IYAK SAMAWA” tentang kinerja Sektor Pendidikan, Pertanian, Pariwisata Dan Pertambangan dalam dalam kaca mata falsafah Iyak Samawa Di Kabupaten Sumbawa, diskusi di selenggarakan di kampus Universitas Muhamadiyah Jogjakarta (UMY) tanggal 15 Oktober 2008
Oleh: Poetra Adi Soerjo
Direktur (PKABS) ”IYAK SAMAWA”
Samawa…. tidak sekedar hanya sebagai sebuah identitas dari nama kampung halaman kita. Samawa bahkan lebih dari sekedar batasan teritorial wilayah, dan jauh lebih luas dari sekedar sebatas pemaknaan identitas kemanusiaan tau samawa. Samawa merupakan simbolisme yang di dalamnya tersimpan siratan makna doa dan harapan, terselip di balik kata samawa labirin-labirin maqom, lapisan-lapisan kedudukan, serpihan-serpihan makna hidup dan kehidupan, di balik makna kata samawa terdapat sebuah metode, proses dan juga indikator berkehidupan yang hendak di tuju oleh orang-orang yang hidup dan menjadi tau tana samawa.
Samawa juga merupakan sebuah falsafah kehidupan yang di peredikatkan dan diamanahkan bagi seluruh kesatuan tau dan tana samawa. Falsafah dan cara pandang tentang kehidupan yang seharusnya dijadikan sebagai panduan dan pedoman dalam bekerja bertindak-tanduk dan berperilaku. Karena entitas kesamawaan tidak hanya berupa manusia tau samawa melainkan terlingkup di dalamnya budaya, perilaku dan nafas kesumbawaan, iyak samawa. Secara semiologi atau ilmu tentang falsafah bahasa, atau jika dianalisis makna kata samawa dalam terminologi etimologis Arab, maka Samawa merupakan bentuk mufrod atau kata tunggal dari kata as-samaa’ dan menjadi samawat-samawa dalam bentuk jama’ yang berarti lapisan langit atau 7 lapis langit. Lapisan langit menunjukkan sebuah falsafah kehidupan, dimana di dalamnya terdapat sebuah proses untuk terus menjadi dan menjadi, terdapat fase dan langkah yang hendak dituju, memiliki sebuah cara pandang ke depan untuk menggerakkan diri dan ke-diri-an menuju pada satu maqom atau kedudukan utama, yaitu tujuan kehidupan di langit ke tujuh untuk mencapai keparipurnaan menjadi manusia seutuhnya.
Tidak,,,,, seperti air mengalir, kemana arus bergerak kesitu jua kita berada. karena siratan makna di balik kata samawa sudah menunjukkan sebuah makna dan tujuan kehidupan yang nyata, sudah tersedia peta dan penunjuk arah menuju kepada tujuan kehidupan yang jelas itu. Falsafah Samawa menunjukkan bahwa, secara vertical semua perbuatan hanyalah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan,,, menjadi kajulen adalah maqom yang tertinggi di hadapan kalepe kaji. Sedangkan secara horizontal tugas pengabdian itu adalah dalam bentuk amanah kekhalifahan, menjadi wakil Allah di muka bumi untuk menjaga dan melestarikan kehidupan. Sengaja kami awali tulisan ini dengan kembali berfalsafah merefleksikan tentang diri dan ke-diri-an kita tau samawa.
Karena bagaimanapun kebijakan pembangunan, baik itu pendidikan, pertanian, pariwisata maupun wealt of nation atau kekayaan alam kita lainnya dalam bentuk pertambangan, itu semua tidak akan mengahasilkan apa-apa, walaupun tiap kebijakan 1 perda saja, pemerintah kita hari ini menyediakan 300 juta anggaran. Bahkan ribuan milyarpun anggaran di arahkan pada sektor sektor tersebut semuanya akan menjadi nothing jika masyarakat tau samawa sudah lepas landas dan melupakan identitas ke-samawa-an nya.
Kami sadar sepenuhnya bahwa begitu kompleks permasalahn yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengatur dan mengelola pembangunan, hingga NTB hari ini sukses menempati rangking ke 32 dari 33 propinsi di Indonesia tentang tingkat IPM (indeks prestasi manusia). Sungguh kontradiktif dengan makna samawa yang berarti langit dan seharusnya berada pada pringkat perestasi yang tertinggi. Sumbawapun sukses memiliki 83.402 Ha lahan kering tak dapat ditanami dan tidak produktif dari hanya 6.643,98 km2 luas seluruh daratan sumbawa. Dalam bidang pariwisata dari 50 obyek wisata secara keseluruhan yang dimiliki kabupaten sumbawa, selain Pulau Moyo dan Pantai Saliper Ate, yang lainnya masih bopeng dan tidak layak dijual, mengingat infrastruktur jalan sebagai akses menuju lokasi sangat tidak layak dikunjungi wisatawan.
Dalam bidang pertambangan, sumbawa yang mendapat julukan pulau yang karam di atas gunung emas, namun kita hanya sekedar mendapatkan cipratan trickel down effect atau cipratan kecil dari banyaknya keuntungan yang di rebut oleh asing. Sedangkan dalam bidang pendidikan di tahun 2007 kemarin pemerintah hanya menyediakan 7% dari total APBD. Sungguh data itu menjadi lirih terdengar di tengah kemewahan simbol Samawa. Semangat etos kerja dan inovasi tinggi yang terselip rapi dalam lipatan makna samawa, sama sekali tidak tercermin dalam prestasi pembangunan, bahkan samawa dalam pengertian sebagai sebuah pulau-pun,,, dengan sejuta potensinya,,, tak terbekas dalam cerminan tingkat angka-angka ekonomi. Berjuta-juta dana di anggarkan,,, beribu-ribu inovasi tercipta,,, beratus-ratus orang disekolahkan,,,, berjuta-juta wacana terdialektika,,,, berpuluh-puluh ahli didatangkan, berpuluh-puluh kota dikunjungi, semuanya hanya menjadi aksesoris berita di koran dan media massa dan akan berakhir di pasar karena korannya hanya akan dihargai sebatas sebagai bungkusan cabe dan bawang penjual di pasar.
Selama masyarakat tana samawa melupakan apa yang menjadi dasar dari segala dasar keterbentukan ke-diri-annya sebagai tau samawa, selama tau samawa melupakan Nafas yang sesungguhnya menjadi ruh kekuatan diri (self ontology) tau samawa, maka tidak akan ada pencerahan yang akan landas di tana samawa tercinta ini. Bukankah menjadi pantas data-data sektor pendidikan, pertanian, pariwisata dan pertambangan kita hari ini yang melemah, karena tiada lagi yang tersisa dari ke-tau-an ke-samawa-an kita, kepahaman kita atas falsafah samawa dan iyak tau samawa. Sadar akan ke-diri-an kita yang tak sempat kita sadari, dihempaskan oleh kejamnya realitas sejarah pembodohan berabad-abad. Peniduran kesadaran dibawah tebalnya lapis-lapis selimut ideology ketidaksadaran.
Belum sempat nafas ini hadir menyatakan kesadaran dirinya di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern, kita sudah dibuat lupa, darimana nafas ini kita tarik dan di titik mana harus kita lepaskan. Nafas yang sesungguhnya menjadi ruh kekuatan diri (self ontology), kembali diasingkan di dalam black hool kelabunya sejarah 32 tahun orde baru, setelah entah kemana ke-diri-an ini dibuang dan diasingkan selama tiga setengah abad. Semuanya telah habis, tiada lagi yang tersisa dari ke-diri-an ini. Tiada lagi yang memahami dasar apa, yang menjadi alasan kenapa tenggorokan ini masih saja mampu melonggarkan tiap-tiap tarian nafas yang berhembus tak jelas dari mana dan hendak dikemanakan. Kita tak sempat dibuat mengenal tujuh bayangan diri, apalagi untuk mampu mengorbitnya secara sentripetal hingga ke pusat inti pusaran diri, tempat dimana kita seharusnya menemukan diri dan ke-diri-an kita yang hakiki, fana dalam Aku Nubuah hingga lebur hancur hilang dalam Baqo’. Gerak nafas asing tanpa orbit ini justru semakin sentripugal dari titik mutiara rahasia tersimpan, titik tempat di mana dari situlah seharusnya nafas ditarik dan dilepaskan menjadi nafas kehidupan, semangat bekerja, watak dan prilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hingga kita hanya dihadapkan dan dipaksakan untuk menerima tanpa mampu berbuat apa-apa pada realitas masyarakat kita tau samawa hari ini yang complicated. Bukan dalam terminology pantheisme, tetapi kita meyakini bahwa alam ini mempunyai ruh. Mereka pun bernafas dalam gerak dan tarian yang berbeda untuk memuja Sang Penciptanya.
Di sinilah “Iyak Samawa” hadir untuk tu tumpan penarik iyak samawa (alam dan dialektika sejarah, pengetahuan dan realitasnya) tu satepat panarik iyak diri (sejarah, pengetahuan dan realitas diri), tu selepas barema ke palepas iyak samawa pang katokal ke irama sopo’. Semangat Confucius telah menjadi iyak orang-orang Cina dan Jepang, dari iyak yang sama, semua masyarakatnya berlomba-lomba menari mengolahnya dalam satu hembusan karakter iyak yang begitu kuat dan kesatria (Baca: Shogun; Kehormatan, Kesetiaan, Kewibawaan Dan Cinta), menjadi nafas dalam membangun dan berkarya, hingga bangsa-nya pun menjadi kokoh, tegar dan berkarakter. Biarlah kesadaran tak berdaya ini merangkak, tapi setidaknya ini lah “Iyak Samawa” yang dalam proses menjadi dan terus menjadi, mencari dan menemukan ritme tarian nafas tau samawa lewat penelusuran dan pelurusan sejarah dan budaya, dalam kajian-kajian kritis yang sedang dan hendak dimulai. Hingga kita menemukan inti dari kesadaran kita. Inilah “Iyak Samawa”, nafas tenang para pemuda yang hendak menangkap cahaya diatas cahaya. tubarema, tu batompok, tutokal pang rasa.