Mohon tunggu...
Poetra Soerjo
Poetra Soerjo Mohon Tunggu... profesional -

INSTITUT FAHAM INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komite Konsultasi Eksplorasi (KKE) dan Kelemahan Membangun Komunikasi Antarlembaga

13 Mei 2012   10:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:22 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13369070611203680409

Beberapa hari terahir pembicaran tentang Komite Konsultasi Eksplorasi (KKE) PT. NNT semakin marak dibicarakan masyarakat di Kabupaten Sumbawa. Pro kontra atas keberadaan komite yang dimaksudkan sebagai katalisator bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakat tersebut menghiasi berbagai disukusi di social media. Dari berbagai diskursus tentang KKE, penulis setidaknya mencatat 3 point yang berkembang sebagai respon terhadap keberadaan KKE. Pertama, ada kelompok yang memandang KKE sebagai terobosan baru bagi terbangunnya partisipasi publik dalam mendorong good mining proses yang emansipatif terhadap kepentingan masyarakat lokal. Bagi mereka, KKE merupakan aplikasi dari good governance yang melibatkan pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil dalam proses perumusan kebijakan yang berhubungan dengan keberadaan PT. NNT. Kedua, ada kelompok yang justeru menyebut KKE tidak lebih sebagai wadah rumah kaca bagi para pemangku kebijakan untuk saling berkompromi demi lancarnya proses eksplorasi PT NNT. Ketiga, ada kelompok yang mempertanyakan status legal keberadaan KKE sebagai sebuah lembaga adhock yang keberadaannya justeru mendelegitimasi keberadaan lembaga konvensional seperti DPRD sebagai representasi legal aspirasi masyarakat. Bagi kelompok ini keberadaan KKE dipandang akan berpengaruh negatife atas kepercayaan masyarakat terhadap lembaga resmi pemerintah dalam susunan tata Negara, dan hal tersebut dipandang destruktif bagi pelembagaan demokrasi.

Sebelum menganalisis berbagai respon yang timbul terkait keberadaan KKE tersebut, ada baiknya kita melihat lebih dalam lagi latar belakang kemunculan KKE dan ide dasar serta semangat awalnya. Dari berbagai pemberitaan di media massa dan diskusi yang berkembang, penulis mencatat beberapa hal di antaranya KKE lahir sebagai refleksi atas tertutupnya pola komunikasi dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bersama perusahaan sehingga melahirkan aksi protes dari berbagai kelompok masyarakat yang merasa tidak terwadahi untuk dapat langsung menyampaikan aspirasinya terkait keberadaan PT. NNT. Untuk mempermudah pola kordinasi dan membuka ruang komunikasi serta melibatkan masyarakat dalam pola pengambilan kebijakan tersebut maka dibentuklah KKE untuk membongkar sakralitas perumusan kebijakan baik oleh perusahaan maupun pemerintah. Semisal dalam menentukan sasaran program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. NNT yang banyak dikritik oleh masyarakat tidak tepat sasaran terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka keberadaan KKE yang melibatkan unsur pemerintah, perusahaan dan representasi masyarakat sipil adalah terobosan untuk memecah sakralitas pola tertutup yang selama ini dilakukan oleh perusahaan. KKE bisa menjadi lingked terutama bagi masyarakat sipil agar akses informasi dan partisipasi dalam prumusan kebijakan bersifat partisipatoris, mengingat slama ini masyarakat hanya bisa mendengar angka angka kesuksesan program perusahaan dan hanya melihat hasil tanpa pernah merasa dilibatkan untuk menentukan arah kebijakan. KKE juga menjadi terobosan agar perusahaan membuka diri dan tidak terpaku menggunakan segelintir stake holder tertentu -untuk menyebut bahwa pola asasement nya sudah lahir dari partisipasi publik- dalam menentukan sasaran program CSR.

Jika melihat ide dasar dan semangat pembentukan KKE dalam rangka meningkatkan partsipasi publik dan membuka ruang komunikasi agar masyarakat sipil dapat mengakses dan terlibat aktif dalam proses perumusan kebijakan, tentu KKE akan mendapat dukungan besar terutama oleh masyarakat yang selama ini hanya bisa menitipkan keluh kesah dan ide nya kepada para wakil mereka baik di pemerintah maupun DPRD tanpa bisa berkomunikasi langsung dengan management perusahaan. Lalu kenapa terjadi riuh penolakan dan kritik terhadap KKE, sudah dapat dipastikan tentunya ada yang bermasalah dalam proses pembentukan KKE itu sendiri. Tidak semua ide progresif akan diterima baik oleh masyarakat jika pola komunikasi tidak dibangun matang dengan pra kondisi yang baik. Dari hal tersebut jelas kelemahannya terletak pada proses agenda setting dalam merumuskan kebijakan yang melahirkan KKE, dan pertanyaannya sejauhmana peran dan keberadaan tiap tiap kelompok dan stake holder yang dilibatkan merupakan representasi yang tepat bagi komunitas yang diwakilinya. Tiap unsur perwakilan dalam KKE harus lahir dari konsensus bersama komunitas atau lembaga yang diwakilinya, dan tidak boleh lahir dari ruang kosong (ujug-ujug) - agar keberadaan KKE efektif berjalan sesuai semangat yang hendak dicapai.

Kelemahan tersebut harusnya menjadi bahan perbaikan bagi para pemangku kebijakan agar kesempatan terbukanya peluang di mana perusahaan membuka diri terhadap lahirnya partisipasi besar dari publik untuk menentukan arah kebijakan perusahaan tidak hilang sia sia. Penting bagi pemerintah untuk memperbaiki ulang pola komunikasi terutama kordinasi dengan berbagai unsur baik di internal pemerintah maupun mengidentifikasi melalui analisis mendalam terhadap representasi masyarakat sipil yang ada, agar tidak terjadi persinggungan antar lembaga di tingkat pemerintah, terutama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD maupun agar tidak ada kelompok masyarakat yang nmerasa tidak terepresentasi. Di sisi lain bagi kelompok yang menganggap  bahwa KKE merupakan sekedar rumah kaca untuk melancarkan kepentingan kepentingan perusahaan, tentu menjadi susah untuk dijawab. Karena KKE merupakan wadah bagi mereka yang memposisikan diri tidak menolak ansich keberadaan tambang, melainkan harus dikawal agar dapat terbangun system tambang berkeadilan dan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Sedang bagi kelompok yang sudah sedari awal memposisikan diri menolak sepenuhnya keberadaan tambang, maka ide apapun tentu semua dilihat tidak logic dan tidak benar. Untuk menghindari pemebenaran terhadap kelompok ini maka ruang kerja KKE harus diperbaiki tidak semata mata sebagai konsultan bagi perusahaan untuk menyusun program program CSR tepat sasaran agar gejolak masyarakat dapat diredam. Jika hanya terkait masalah CSR tentu kelompok yang menyebut KKE hanya sebagai rumah kaca menemukan pembenarannnya. Dalam konteks ini maka keberadaan KKE jauh lebih luas dari hanya sekedar wadah konsultasi bagi perusahaan terhadap pemerintah dan masyarakat Sumbawa terkait sararan program pemberdayaan, namun jauh lebih dari itu KKE harus memiliki posisioning yang jelas terkait berbagai persoalan atas pengelolaan pertambangan berkeadilan bagi pemerintah dan masyarakat Sumbawa.

Perbaikan Kelembagaan KKE

Untuk mengupragade ulang agar ide dan semangat dasar KKE sampai kepada masyarakat umum serta mnghindari terjadinya ketersinggungan atas representasi berbagai unsur dalam KKE, pemerintah harus mengidentifikasi ulang setiap unsur yang ada dalam KKE, sejauhmana tiap tiap pihak menjadi representasi dari kelompoknya masing masing. Di internal pemerintah sendiri penting untuk melakukan koordinasi ulang agar keputusan pembentukan KKE tidak dilihat sebagai keputusan sepihak dan hanya mewakili personal tertentu bukan atas nama kelembagaan. Sedang di internal masyarakat penting untuk melihat unsur-unsur masyarakat manakah yang paling representasif disebut sebagai pelembagaan masyarakat sipil yang bisa mewakili masyarakat umum dalam KKE, apakah semata mata masyarakat terdampak tambang, perwakilan masyarakat per kecamatan, Lembaga Adat, LSM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan lainnya. Sementara terkait munculnya keritikan atas keberadaan Sultan dalam KKE seharusnya dapat dipahami. Karena menggunakan pendekatan representasi apapun, Sultan pasti akan muncul sebagai stake holder yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan apapun yang menyangkut Tau dan Tana Samawa sebagai pihak yang semestinya dituakan dan selalu dimintakan nasehat. Terlebih dalam hal ini Sultan mewadahi sebuah Lembaga Adat Tau dan Tana Samawa yang memiliki struktur yang jelas dan perwakilan di seluruh kecamatan. Kritik terhadap keberadaan Sultan muncul dari sekali lagi pola eksekusi pembentukan KKE yang tidak matang, sehingga beberapa pihak merasa hanya dengan jika sudah melibatkan Sultan sebagai simbolisasi masyarakat Tau dan Tana Samawa maka representasi masyarakat sudah terakomodasi di dalamnya. Hal tersebut akan cenderung mengakibatkan terjadinya pengabaian terhadap keberadaan lembaga formal semisal DPRD. Terkait hal tersebut dibutuhkan pikiran jernih untuk sama sama saling memahami dan menjadi pelajaran bagi seluruh pihak ke depan agar keberadaan Sultan tidak menjadi boomerang hanya karena sebuah keputusan yang tidak matang diputuskan, dan akibatnya marwah Sultan sebagai cerminan marwah dan martabat Tau dan Tana Samawa bisa luntur. Dibutuhkan kejelian yang matang bagi LATS dan orang orang terdekat Sultan dalam melihat situasi dan menempatkan Sultan pada kondisi yang seharusnya sudah free and clear terlebih dahulu. Kembali membangun komunikasi kekeluargaan dengan berbagai pihak adalah jawaban untuk meminimalisir krikil tersebut, karena penulis yakin semua orang Sumbawa tetap menaruh hormat dan menjaga marwah Kesultanan, kritikan yang adapun lahir dari rasa cinta semua pihak agar Sultan selalu dapat menjaga marwah dan martabat dirinya yang merupakan cerminanan marwah dan martabat Tau dan Tana Samawa.

Jika KKE telah mampu di create ulang serta tidak meninggalkan celah bagi adanya kelompok yang merasa tidak terakomodasi dalam perumusan pembentukannya, maka langkah selanjutnya adalah menyusun ruang lingkup kerja KKE dan menurunkannnya dalam kelompok kerja (Pokja) berdasarkan berbagai Tupoksi masing masing. Kembali terkait adanya kritikan bahwa KKE hanya merupakan wadah untuk meredam gejolak masyarakat dengan meninabobokan mereka menggunakan berbagai program CSR PT NNT, di sisinilah pentingnya KKE harus keluar dari skema tersebut. Jika KKE hanya difungsikan sebagai ruang konsultasi atas program CSR yang tepat maka masyarakat akan terlena dan kehilangan argumentasi dan daya kritis terhadap sistem pertambangan yang kita tahu bersama keberadaannya tidak menguntungkan bagi Kabupaten Sumbawa, baik dalam segi penerimaan pendapatan maupun serapan tenaga kerja. Di luar tetap harus merebut relasi kuasa makna dalam menyiasati dana CSR agar tepat sasaran terutama bagi pengembangan ekonomi masyarakat berkelanjutan, KKE juga harus sudah memiliki kesepahaman yang sama dan satu kata terlebih dahulu atas berbagai masalah yang belum selesai terkait system pertambangan berkeadilan.

Untuk itu KKE tidak boleh difungsikan oleh Perusahaan hanya sebatas sebagai forum konsultasi pada pengawalan masa eksplorasi agar eksplorasi tersebut bisa berjalan lancar tanpa gejolak. Lebih dari itu KKE harus membangun komitmen dengan perusahaan di mana ruang lingkup kerja KKE harus terbagi menjadi setidaknya 3 (tiga) fase yaitu 1. Masa eksplorasi, 2. Masa Eksploitasi dan 3. Masa Post Mining. Semua unsur masyarakat dalam KKE harus tetap dilibatkan dalam ketiga fase tersebut dan harus berjalan scara hirarkhis, dalam artian jika kehendak bersama KKE tidak bisa dipenuhi di fase eksplorasi maka ekploitasi tidak boleh berjalan. Pertama, Apa yang harus menjadi standing point KKE dalam masa eksplorasi adalah  memastikan keberadaan Dodo harus memiliki multy player efect terhadap kesejahteraan masyarakat Sumbawa. Dalam hal ini harus menjadi harga mati bagi ruang konsultasi KKE untuk memastikan agar Blok Dodo tidak hanya dijadikan sebagai tempat pengeboran di mana perusahaan membangun belt conveyer untuk membawa bebatuan hasil peledakan di Dodo lalu diolah di Batu hijau KSB. Perusahaan wajib membangun konsentrator tersendiri di Kabupaten Sumbawa agar semua galian di Blok Dodo dapat diekstraksi dengan mesin yang harus dibangun di wilayah kabupaten Sumbawa. Jika tidak maka jelas serapan tenaga kerja dan penerimaan pajak akan sangat mimim di dapatkan oleh kabupaten Sumbawa. Menjadi tidak penting apapun program pemberdayaan melalui CSR yang diskemakan KKE pada masa eksplorasi jika kita kehilangan pendapatan yang jauh lebih besar dalam bentuk pajak dan serapan tenaga kerja karena ternyata Dodo hanya tempat pengeboran. Namun jika mesin peleburan dibangun di kabupaten Sumbawa maka multi player efect bisa tercipta dengan mensiasati titik titik spot pertumbuhan ekonomi masyarakat di dalam kabupaten Sumbawa dengan cara memastikan bahwa jalur distribusi barang jasa dan orang wajib melalui dalam kabupaten Sumbawa mengikuti titik titik konsentrasi pertumbuhan penduduk di jalur utara hingga melewati kecamatan Utan dan Alas lalu Tano dan Benete dan tidak boleh melalui jalur selatan meski merupakan jalur terdekat menuju Batu hijau, karena bukan merupakan titik konsentrasi pertumbuhan penduduk.

Ke-dua, masa eksploitasi. Dalam masa eksploitasi KKE harus mensiasati dan memberikan solusi kepada perusahaan agar dapat menyerap sebesar besarnya tenaga kerja lokal. Semakin besar kemampuan perusahaan menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran di kabupaten Sumbawa, akan semakin meminimalisir munculnya gejolak. Lalu bagaimana fakta angkatan kerja terbuka di Sumbawa hubungannya dengan prasyarat well educated dari perusahaan yang timpang. Hal tersebut bisa disiasati dengan tidak memaksakan semua orang harus menjadi karyawan PT.NNT jika hanya menjadi buruh kasar. Terlebih lagi jika Konsentrator tidak dibangun di Kabupaten Sumbawa maka peluang serapan tenaga kerja akan sangat minim, jika Sumbawa hanya dijadikan tempat pengeboran maka hanya tenaga kerja dengan keahlian yang akan dibutuhkan oleh perusahaan. Lagi lagi hal tersebut hanya akan menjadi boomerang bagi perusahaan dan pemerintah ke depan ketika masyarakat lokal justeru menganggur di daerahnya sendiri di tengah mereka menyaksikan alam nya dikeruk dan banyak masyarakat pendatang yang justeru sejahtera di kampung halamannnya. Ini adalah bom waktu terlebih ketika harga barang menjadi naik akibat pertumbuhan ekonomi sementara penduduk lokal pengangguran pendapatannya tetap sedang di sisi lain arus tawaran barang semakin membanjir. Pendapatan tetap, tawaran barang semakin banyak dan tak terbeli maka keriminalitaspun menjadi sebuah keniscayaan.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan antara perusahaan yang sedikit membuka peluang bagi angkatan kerja non skill dengan fakta masyarakat local yang mayoritas memang non skill. Hal tersebut sesungguhnya dapat disiasati dengan melihat beberapa kebutuhan perusahaan yang aksesable dapat disuply oleh masyarakat lokal dengan mekanisme UKM. UKM adalah satu satunya ruang yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan membuat tidak semua orang harus menjadi karyawan PT NNT. Masyarakat sesungguhnya bisa tetap bekerja sesuai bidangnya masing masing di rumahnya sendiri asalkan produk hasil usahanya pasti harus dibeli oleh PT.NNT secara suistainable ataupun dijamin distribusinya. Inilah pentingnya membagi berapa jenis produk kebutuhan prusahaan yang bisa di askses oleh kontraktor local dan berapa jenis produk yang sesungguhnya itu sanggup disuply oleh masyarakat melaui UKM. UKM sendiri dapat dibentuk perdesa, per kecamatan atau per regio sesuai ketersediaan bahan mentah untuk selanjutnya bisa secara kolektif disuply ke perusahaan melalui koperasi koperasi tertentu. Untuk menyiapkan kapasitas masyarakat agar memiliki integritas dan skill dalam memproduk barang kebutuhan tersebut, inilah pentingnya KKE sebagai ruang konsultasi bagi perusahaan untuk mempersiapkan tenaga dan system di masyarakat dengan berbagai pelatihan pelatihan pada masa eksplorasi ini. Penulis yakin asalkan diberikan pelatihan, skill, alat dan modal masyarakat Sumbawa mampu memproduksi barang barang kebutuhan perusahaan tersebut. Jika hal tersebut berjalan maka inilah indicator kesuksesan keberadaan KKE yang juga sejalan dengan kepentingan perusahaan dalam rangka menciptakan iklim investasi yang sehat,.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun