Mohon tunggu...
Poetra Soerjo
Poetra Soerjo Mohon Tunggu... profesional -

INSTITUT FAHAM INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisa Kekuatan Politik Etnitas dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa

6 Juli 2011   15:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:53 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ABSTRAK

Runtuhnya sistim sentralisasi tergantikan dengan sistim desentralisasi pada reformasi 1998 telah membawa impilkasi yang sangat besar pada sistim pemerintahan di Indonesia. Tuntutan pemekaran wilayah sebagai jawaban atas ketimpangan pembangunan bagi daerah-daerah yang jauh dari akses kekuasaan dan kebijakan menjadi marak. Dalam kurun waktu 10 tahun reformasi, telah terbentuk 16 propinsi baru menjadi 33 propinsi dari sebelumnya 17 propinsi pada masa orde baru. Perubahan sistim pemerintahan tersebut juga membawa implikasi bagi konfigurasi politik di tingkatan lokal. Distribusi kekuasaan ke tingkat lokal menjadikan kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik dan menjadi penentu aras kepentingan politik komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya. Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh sistim primordial etnisitas menjadikan politik identitas menjelma sebagai daya tawar dalam arena perpolitikan. Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terdiri atas dua pulau besar (pulau Lombok dan Sumbawa) dan tiga etnis besar yaitu suku Sasak yang mendiami keseluruhan pulau Lombok, etnis Samawa yang mendiami pulau Sumbawa bagian barat dan etnis Mbojo yang mendiami pulau Sumbawa bagian timur, tidak terlepas dari dialektika konfigurasi politik identitas akibat distribusi kekuasaan ke daerah dalam masa desentralisasi ini. Ketimpangan pembangunan yang disenyalir akibat kesenjangan representassi masyarakat pulau Sumbawa atas akses kekuasaan di propinsi NTB menemukan momentumnya pada era desentralisasi, dengan mengeluarkan statement bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan pembangunan di pulau Sumbawa hanyalah dengan pemekaran. Pemekaran yang seharusnya menempati domain hukum, bergeser menjadi domain politik akibat fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan mengedepankan politik identitas sebagai alat untuk mempercepat dan memperuncing dialektika wacana isu pemekaran. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana pengaruh fragmentasi elit yang berbasis pada etnisitas terhadap pemekaran propinsi pulau Sumbawa.

Permasalahan tersebut diharapkan mampu menjawab judul dari penelitian ini yaitu untuk menganalisa kekuatan politik identitas dalam pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Dengan menggunakan metode yang bersifat partisipatif (reasearch parsipatory) yaitu menganalisis temuan-temuan di lapangan baik dalam bentuk data maupun wawancara mendalam dengan berbagai stakeholder yang ada di propinsi NTB selama kurun waktu Bulan Mei hingga dengan Juni 2008, diharapkan penelitian ini mampu mengungkapkan data yang konfrehensif tentang titik permasalahan penelitian.

Temuan yang didapatkan adalah terjadi dinamika relasi elit di pulau Sumbawa dan NTB pada umumnya setelah menggelindingnya isu pemekaran. Isu yang awalnya lahir dari euforia politik setelah kotak pandora orde baru dibuka kemudian disambut oleh para elit politik dan menjadikan politik identitas sebagai basis dialektika. Fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan dan etnisitas sedemikian rupa mempengaruhi isu pemekaran dikarenakan masalah pemekaran berhubungan dengan demotion dan promotion bagi eksistensi kelompok elit tertentu. Bagi elit isu pemekaran propinsi Sumbawa layaknya dua keping mata uang, di satu sisi isu pemekaran merupakan ruang perebutan relasi kuasa, yaitu ruang untuk menjaga legalisasi pemerintah atas diri dan basis etnisitasnya melalui penguasaan kursi legislatif dan eksekutif. Di sisi yang lain, kegagapan cara pandang masyarakat etnis dalam masing-masing suku di pulau Sumbawa tentang konsepsi elit-nya yang mulai kabur akibat degradasi sistim modern dan demokrasi, menjadikan siapapun yang mampu merebut ruang kekuasaan negara dan menjadi elit politik, juga akan mendapatkan legitimasi ke-elit-an dalam sistim kultural etnis. Pemekaran propinsi Sumbawa merupakan keharusan, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan publik dan mendapat dukungan besar dari seluruh masyarakat pulau Sumbawa. Situasi tersebut menjadi lahan subur bagi elit untuk merebut relasi kuasa. Simbiosis antara keinginan kuat dari masyarakat untuk melakukan pemekaran dengan kepentingan elit untuk memperluas ruang kuasa menemukan coomon destination, yaitu pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan menjadikan politik etnisitas menjadi senjata yang sangat massif digunakan oleh elit lokal sebagai alat negosiasi politik. Dampak negatifnya adalah dengan mengedepankan politik identitas masyarakat dalam negosiasi politik dapat melahirkan benih konflik horizontal.

Kata kunci: Politik Identitas, Elit, Etnisitas, Desentralisasi

I. PENDAHULUAN

Perubahan konfigurasi sistem politik dan pemerintahan di Indonesia ditandai dengan pergeseran sistem pemerintahan dari mekanisme sentralistik ke sistem yang lebih terdesentralisasi. Salah satu manifestasinya adalah disambut meriahnya implementasi otonomi daerah di tiap-tiap lokal dengan pemekaran daerah.Wacana politik lokal Indonesia tentunya memiliki kompleksitas yang luar biasa. Betapa tidak, kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu mempengaruhi aktifitas politik di daerah yang di satu sisi menjadi penentu kemenangan atas kepentingan politik dari komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya[1].

Kesatuan budaya selama ini diagung-agungkan dan dijaga dengan sangat sentralistis oleh negara. Namun, begitu negara tidak kuat lagi melakukan kontrolnya, etnisitas muncul sebagai identitas diri yang melekat dengan sebuah wilayah. Secara politik, etnisitas menjadi persoalan serius di Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang melahirkan batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul kembali keinginan untuk mempunyai kedaulatan di daerahnya atau house culture. Tidak heran kalau kemudian sering kali muncul rengekan yang mempertanyakan siapa yang menjadi tuan rumah di suatu wilayah. Atau, sering kali muncul pernyataan bahwa kamilah yang seharusnya menjadi tuan rumah di daerah ini.[2]

Potensi besar yang dimiliki kekuatan etnisitas di tingkat lokal juga dipengaruhi oleh kepentingan politik nasional, dimana untuk meloloskan kepentingannya, isu etnisitas dipandang mempunyai peluang untuk itu. Proses penggarapan dukungan massa menjadi target utama propaganda elit sehingga isu etnisitas tersebut terus direproduksi dan dimainkan secara masif [3].

Salah satu persoalan yang muncul sebagai implikasi dari menguatnya isu etnisitas adalah karena adanya perasaan sentimen etnis tertentu atas berkuasanya etnis lain disuatu wilayah, sehingga mereka merasa terpinggirkan dalam wilayah ekonomi maupun politik. Keterbatasan akses tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan upaya pengkonsolidasian identitas, yang kemudian memilih etnis sebagai kendaraan untuk mempertahankan eksistensinya.

Menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat, karena kemunculan isu etnis terjadi dalam ritme masif hanya pada hajatan-hajatan yang bernuansa politis saja. Setelah masa tersebut dilewati, isu etnis pun mereda dengan sendirinya. Kasus Nusa Tenggara Barat menjadi gambaran kongkrit atas dinamika politik etnisitas tersebut. Pada Prosesi pemilihan gubernur NTB tahun 2003 dan Pilkada Sumbawa pada tahun 2005 semangat identitas dalam bentuk etnis menguat ke permukaan dengan maraknya isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa dari induknya propinsi NTB. Beberapa rentang tahun di saat prosesi konsesi kepemimpinan usai, isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa menjadi mereda pula. Namun saat ini dikarenakan oleh akan diadakannya Pilkada NTB pada Juli 2008 yang akan datang isu pemekaranpun menjadi menguat kembali.

Propinsi NTB yang terdiri dari dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan pulau Sumbawa dihuni oleh tiga etnis besar yang terdiri dari etnis sasak yang menghuni pulau Lombok dengan 5 kabupaten/kota, etnis Sumbawadi kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa barat yang menghuni pulau Sumbawa bagian barat serta etnis Mbojo di kabupaten Dompu, Bima dan kodya Bima yang menghuni pulau Sumbawa bagian timur.

Propinsi NTB yang beribu kota di Mataram sejak wilayah propinsi NTB masih di sebut sebagai daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat pata tahun 1959 belum pernah mengalami perubahan hingga hari ini. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor menguatnya isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa. Selain faktor-faktor normatif tentang pemekaran seperti akses informasi dan administrasi dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten yang ada di propinsi NTB, penulis melihat faktor politik etnis yang di boncengi oleh perebutan dan pembagian kekuasaan merupakan faktor terbesar dari meluasnya isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa. Indikatornya adalah populasi penduduk dan massa pemilih di pulau lombok adalah 3 kali lipat lebih besar dari populasi penduduk pulau Sumbawa, hal ini mengakibatkan para politisi lokal di pulau Sumbawa hampir bisa dikatakan rata-rata hanya memiliki 20 % kesempatan mendapatkan kursi jabatan di propinsi, baik dalam jabatan birokrasi maupun politik. Pada pemilihan DPD 2004 dari 4 orang anggota DPD propinsi NTB hanya terwakili oleh 1 orang dari pulau Sumbawa dengan 5 kabupaten/kota, sedangkan 3 anggota DPD lainnya berasal dari pulau Lombok. Begitu juga keterwakilan masyarakat pulau Sumbawa yang sangat senjang dibandingkan dengan keterwakilan elit di NTB dalam pemilu legislatif 2008. Di satu sisi terbangun sebuah memori kolektif yang kuat bagi etnis Sumbawa dan Mbojo yang sedari lama sudah enggan di pimpin oleh orang-orang yang berasal dari etnik sasak, sehingga wacana pemekaran bergeser menjadi wacana rasial yang mengedepankan sentimen primordial kebencian atas etnik sasak yang berbeda pulau.

Untuk melihatnya lebih jelas dan komprehensif mengenai dinamika politik etnisitas dalam perebutan kekuasaan tersebut, penulis kemudian merasa penting untuk meneliti lebih dalam tentang masalah tersebut dengan mengangkat judul “Politik Identitas (Analisa Tentang Kekuatan Politik Etnisitas Dalam isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa). Thesis yang coba dikemukakan dalam tulisan ini adalah: terdapat korelasi positif antara menguatnya Politik etnis dalam isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa dengan perebutan kekuasaan para elit lokal dan nasional.

A.Rumusan Masalah

Bagaimana Pengaruh Fragmentasi Elit Yang Berbasis Pada Etnisitas Terhadap Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa

B.Konstruksi Teori


  1. Teori Elit

Dalam tiap-tiap pola tatanan sosial masyarakat selalui dijumpai adanya lapisan yang menguasai dan dikuasai. Konsep penguasaan salah satu kelompok atas kelompok lain dapat dijumpai dalam berbagai tulisan karya Pareto, Mosca, Michels dan Darso. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa setiap masyarakat selalu dipimpin oleh sekelompok kecil individu-individu yang berkuasa –yang pada gilirannya lebih dikenal dengan sebutan kelompok elit- atas massa rakyat yang terdiri dari sejumlah besar individu-individu anggota masyarakat lainnya.

Putnam[4] menganalisaperan dan pengaruh elit dari perspektif posisi, reputasi, dan pembuatan keputusan. Perbedaan ketiga perspektif tersebut adalah sebagai berikut : Analisa posisi mengandaikan bahwa: (1). orang yang berkuasa diantara sekelompok elit adalah orang yang menduduki posisi puncak dari organisasi formal tersebut; (2). kekuasaan berkorelasi sepenuhnya dengan posisi kelembagaan; (3). analisa posisi merupakan teknik analisa yang mudah dan paling umum dipergunakan untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang yang berkuasa di lembaga tersebut; (4). asumsi analisis ini beranggapan bahwa sudah diketahui lembaga-lembaga mana yang secara politis penting dan lembaga-lembaga mana yang mempunyai pengaruh semu; (5). analisa posisi hanya efektif diterapkan dalam kondisi masyarakat/organisasi yang memiliki distribusi ke kuasaan yang timpang, sementara dalam masyarakat dan organisasi yang distribusi kekuasaan merata analisis ini tidak efektif. Singkatnya analisa ini berasumsi : ”siapa menduduki posisi puncak di suatu organisasi, orang itulah yang memiliki peran utama dan mempunyai pengaruhbesar dalam gerak langkah organisasi”.

Analisa reputasi berasumsi bahwa : (1). individu yang oleh sesama warga dianggap memiliki pengaruh, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki pengaruh; (2). individu yang oleh orang dianggap memiliki kekuasaan, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki kekuasaan; (3). analisa reputasi dilakukan dengan tidakmendasarkanpadalembaga-lembagaformaltetapi mendasarkan kepada reputasi kekuasaan secara informal yang dimiliki elit.

Analisa pembuatan keputusan menekankan bahwa : (1). untuk mengetahui siapa yang berkuasa diantara para elit dengan cara mempelajari proses pembuatan keputusan, perhatian utama dari analisa ini adalah siapa yang banyak berinisiatif dan memberi kontribusi terhadap pembuatan keputusan organisasi, (2). dari proses ini juga diketahui siapa saja yang menjadi penentang dari proses pembuatan keputusan tersebut; (3). analisa ini menurut sementara kalangan lebih efektif dibanding analisa posisi dan reputasi. Singkatnya perhatian analisa ini mencari individu-individu yang memainkanperan kunci atau elit penentu menurut Suzanne Keller[5] dalam pembuatan keputusan.


  1. Teori Relasi Elit Dan Suku

a. Identitas

Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.

Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.

Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.

Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya.

b. Etnisitas

Istilah etnik, ditinjau dari sudut pandang etimologis, berasal dari bahasa yunani “ethnos” yang berarti “penyembahan” atau “pemuja berhala”. Dalam bahasa Inggris “ethnic” artinya kesukuan atau suku bangsa. Di Inggris terminology ini digunakan mulai pertengahan abad XIV yang dalam perkembangannya mengalami reduksi ke arah penyebutan karakter ras. Di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan secara massif pada saat perang dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa-bangsa inferior, seperti bangsa Yahudi, Italia, Irish. Terminologi ini dalam kesehariannya biasanya dikaitkan dengan isu minoritas dan hubungan kesukuan.

Etnik(ethnic) dalam pengertian lain, merujuk pada kelompok sosial yang ditentukan oleh asal usul, bahasa yang sama, atau adat istiadat, nilai dan norma budaya, yang pada gilirannya mengidentifikasikan adanya kenyataan kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat.

Horowitz (1985), membuat terminologi etnik yang dikaitkan dengan kelahiran dan darah, walaupun tidak selalu demikian. Keaslian individu sangat diperhitungkan, tetapi tidak menutup adanya perkecualian. Identitas etnikrelatif sulit diubah walaupun bisa saja terjadi. Oleh karenanya, identitas etniksering didasarkan atas kesamaan darah (kelahiran) bagi sebagian besar anggotanya. Dalam konteks sosiologi, etnikadalah status yang ditentukan (ascribed status). Namun demikian, beberapa variasi tetap dapat dihadirkan karena etnik juga mengacu pada kesamaan kepercayaan. Dengan memperhitungkan adanya disparitas antara ciri-ciri fisik dan konsepsi kelompok, maka pengertian etnisitasmenjadi semakin elastis. Menurut Horowitz, (1985) sebuah kelompok etnik dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa dan kepercayaan (religion), yang mencakup suku, ras, nasionalitas, dan kasta.

Pandangan lain, yang awalnya diadopsi dari antropolog Molinowski, bahwa istilah etnikdan etnisitas menunjuk pada kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan definitif. Kelompok etnikdapat dibedakan menurut organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum) maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. (Pelly, 1998: 26).

Barth (1988), menyatakan bahwa etnisitas (kesukuan) tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempati atau sistem rekrutmen yang diberlakukan, akan tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang terus menerus dari setiap kelompok etnikbersangkutan. Selanjutnya Barth mengemukakan ciri-ciri kelompok etnik dalam suatu masyarakat, yaitu: (1) secara biologis mampu berkembang dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris (categorical ascription) adalah ciri khas yang paling dasar dan secara umum menentukan seseorang itu termasuk ke dalam kelompok etnikmana dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal usul orang tersebut.

Berdasarkan berbagai konsep di atas, dapat dikatakan bahwa etnik atau kelompok etnikadalah :

Pertama, suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama dan karena kesamaan itulah mereka memiliki identitas sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Para anggota kelompok etnikitu berbeda dengan kebudayaan masyarakat kebanyakan, karena mereka memiliki karakteristik kebudayaan tertentu dari anggota masyarakat yang lain. Kelompok etnikbiasanya mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adat istiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain.

Kedua, suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, namun di antara para anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama. Gagasan tentang kelompok etnikberbeda dengan ras, sebab etniklebih menggambarkan nilai, norma, perilaku dan bahasa yang acapkali juga terlihat pada tampilan fisik. Seringkali kelompok etniktertentu menjadi kelompok minoritas dari kebudayaan orang lain yang mayoritas.

Ketiga, etnikmerupakan suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain, di mana kelompok etnikitu mempunyai peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian atau art yang sama yang diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Jadi, ada imajinasi yang sama yang mereka ciptakan secara virtual, sebagai gambaran diri mereka, hubungan mereka dengan orang lain yangmembentuk sistem peran, fungsi dan relasi serta struktur dan sistem sosialnya sendiri.

c. Elit Dan Etnitas

Hubungan antara elit dan etnisitas terjalin layaknya masinis dan kereta apinya. Elit menjadikan etnisitas sebagai bergaining posisition (alat posisi tawar). Eksistensi etnisitas suatu kelompok sebagai daya tawar negosiasi merupakan kunci utama hubungan antara elit dan etnisitas. Keterwakilan elit atas etnis menjadi satu hal yang paling ditakuti jika dibenturkan dalam negosiasi politik karena dapat berdampak pada konflik sosial masyarakat.

Fragmentasi elit yang berbasis pada etnisitas atau kesukuan merupakan pola dinamika yang paling menonjol dalam sistim perpolitikan di tingkat lokal. Konflik menjadi sangat rentan terjadi karena dialektika antara politisi-politisi lokal sesungguhnya tidak sedang memperjuangkan sebuah ideologi politik. Dialektika antar tiap-tiap elit lokal sesungguhnya selalu mengedepankan eksistensi etnisitas yang mereka wakili. Ketidak mampuan salah seorang elit dalam merebut kursi kuasa akan dimaknai sebagai sebuah demotion bagi salah satu kelompok etnik dalam mempertahankan legitimasi kelompok.


  1. Teori Elit Dan Kebijakan Publik

Menurut Dye, teori elit mengatakan bahwa “rakyat” mempunyai perilaku apatis, dan tidak memiliki informasi yang baik tentang kebijakan publik. Oleh karena itu, sebenarnya para elit membentuk opini masyarakat luas mengenai persoalan-persoalan kebijakan dan bukan masyarakat luas membentuk opini elit. Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh para elit. Teori elit menganjurkan bahwa hanya mereka, para elit yang berperan serta dalam isu-isu kebijakan penting. Demokrasi hanyalah mitos belaka. Demikianlah kritik tajam dari para penganut “teori elit” dalam ilmu politik seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto. Mereka meyakini bahwa kekuasaan politik, ujung-ujungnya hanyalah berada di genggaman segelintir elit politik belaka.

Untuk mengetahui peran elit dalam kebijakan beberapa ahli seperti Lasswell, Mills, dan Putnam melihatnya dari dimensi yang berbeda. Menurut Lasswell, elit adalah individu-individu yang meraih nilai-nilai tertinggi dalam masyarakat karena kecakapannya terlibat secara aktif dalam pengambilan kebijakan. Lain halnya dengan Mills yang melihat peran dalam kebijakan karena posisi tertinggi individu-individu dalam institusi, sedangkan Putnam membaginya dalm dua kategori yaitu elit yang mempunyai pengaruh langsung dan elit yang pengaruhnya tidak langsung dalam proses pempauatan kebijakan. [6]

Dalam penelitian ini kami justru memandang peran dan penetrasi elit dalam proses kebijakan adalah sebagai satu bentuk upaya survivalitas elit.Untuk mempertahankan eksistensi dan legitimasi diri, para elit lokal akan berupaya untuk berkolabarsi dengan negara, merebut relasi kuasa kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara tidak menghasilkan demotion bagi kelompoknya. Jika pertarungan dalam ruang kuasa semakin ketat, maka para elit akan mengintervensi kebijakan negara untuk memperluas ruang kuasa, seperti kebijakan pemekaran wilayah yang begitu marak di Indonesia 5 tahun tahun terakhir. Zaini Nurdin seorang calon gubernur NTB dari PPP pada acara debat kandidat calon gubernur di TV One pada tanggal 1 juli 2008mengatakan bahwa ”Kebijakan pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa (PPS) lebih merupakan upaya elit untuk mempertahankan kekuasaan yang diakibatkan oleh adanya dikotomi antara Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok dibandingkan dengan optimalisasi pelayanan publik.”


  1. Teori Desentralisasi, Otononmi, Dan Pemekaran

a. Desentralisasi

Republik Indonesia yang memilikiwilayah yang luas dan terpencar-pencar dengan keadaan penduduk yang heterogen sebagai ciri kehidupan sosialnya tentunya akan sangat akrab dengan konsep desentralisasi. Pada awalnya desentralisasi sangat dipengaruhi oleh keadaan potensi daerah, faktor geografis dan luas wilayah, dewasa ini konsep desentralisasi lebih dikaitkan dengan pemberdayaan, pengembangan kapasitas dan upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Litvack et al, dalam Oentarto mengemukakan beberapa alasan pendukung pelaksanaan desentralisasi, bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum, karena :

1). Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;

2). Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal dapat melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;

3). Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Dalam pelaksanaan azas desentralisasi terdapat beberapa keuntungan atau dampak positifnya bagi pemerintahan daerah, menurut Ryaas Rasyid, (dalam Dharma Setyawan Salam, 2001 : 9) menjelaskan kebaikan desentralisasi, yakni :

1) Lebih mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat yang menjadi sasaran sehingga operasionalisasi keputusan dapat lebih realistik, efektif dan efisien.

2). Meringankan beban organisasi pada level yang lebih tinggi sehingga dapat menggunakan waktu, energi dan perhatiannya kepermasalahan yang strategis.

3). Membina kemampuan bertanggung jawab kepada penerima wewenang ditingkat yang lebih rendah sehingga secara langsung dapat menciptakan iklim kaderisasi yang lebih emperikal dan sistematik.

4). Dengan kewenangan yang diterima hubungan para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan pada tingkat yang lebih rendah akan terbangun karena merasa dipercaya oleh pemerintah yang lebih tinggi, kebanggaan ini bisa menjadi landasan bagi tertanamnya sikap dedikasi dikalangan aparatur di daerah.

Brian Smith (1993, 23) merumuskan sembilan hal yang dapat diharapkan dari desentralisasi, yakni :

1). Desentralisasi dapat lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakatlokal dan dapat memberikan pelayanan kepada kelompok miskin.

2). Melalui desentralisasi, masyarakat lebih dapat memiliki akses terhadap kantor-kantor pelayanan ditingkat lokal.

3). Desentralisasi dapat menjadi sarana untuk memobilisasi dukungan dalam pembangunan, khususnya ditingkat pedesaan.

4). Desentralisasi bisa menjadi “obat” bagi pemerintah pusat yang terkena penyakit patologi birikrasi.

5). Desentralisasi dapat meningkatkan persatuan dan stabilitas politik (unity and stability).

6). Desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat masyarakat ditingkat lokal.

7). Desentralisasi dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi sumber-sumber lokal.

8). Desentralisasi dapat memungkinkan adanya koordinasi pembangunan didaerah lebih efektif lagi.

b. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah sebagai perwujudan dari penyelenggaraan azas desentralisasi pemerintahan di daerah yang dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia, ditetapkan secara formal pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakatnya.

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service)dan juga memajukan perekonomian di daerah. Menurut M. Asfar (2001, 3) pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu :

a)Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

b)Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

c)Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Menurut Bryant, (2000, 24) konsekwensi daripada penyerahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan pengawasan kepada badan-badan otonomi adalah “ untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capasity) “ . Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah, dimaksudkan untuk membangun tanggung jawab dan kemampuan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri berdasarkan budaya, serta aspirasi masyarakat di daerah.

c.Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan wilayah. Pemekaran wilayah dilegalisasi oleh konstitusi berdasarkan sebagaimana tertuang dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;

2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;

4. Percepatan pengelolaan potensi daerah;

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban;

II. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif, yaitu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan suatu keadaan atau status fenomena. Unit analisis dalam penelitian ini adalah lembaga yaitu KP3S (Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa) sebagai sebuah lembaga yang dikaitkan hubungannya dengan pemekaran propinsi Pulau Sumbawa. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara kepada anggota KP3S. Wawancara juga dilakukan kepada unsur Pemerintah Daerah, Partai Politik, Perguruan Tinggi, Kelompok Kepentingan/LSM dan Media Massa melalui penelaahan isi pemberitaan dan informasi yang disajikan. Data-data litbang pada masing-masing stakeholder kami kumpulkan sebagai bahan studi literacy. Pengumpulan data juga kami lakukan dengan menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion bersama baerbagai stakeholder yang ada.

Analisis dilakukan dengan memfokuskan pada dialektika peran dan fungsi-fungsi masing-masing lembaga dalam isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa sebagai suatu rangkaian yang membentuk sebuah sistem identitas politik lokal. Penelitian ini dilakukan di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada tanggal 15 Mei hingga tanggal 26 juni 2008, disamping sebelumnya penulis sudah inten melakukan analisa tentang perkembangan proses pemekaran propinsi pulau Sumbawa berdasarkan penugasan yang diberikan oleh S2 Politik Lokal Dan Otonomi Daerah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Konsepsi Elit dalam Etnis di NTB

Untuk dapat memahami konsepsi elitbagi masyarakat NTB yang terdiri atas tiga etnis besar yaitu etnis Samawa, etnis Mbojo dan etnis Sasak yang memiliki kesatuan dan sistim adat serta bahasa yang sama sekali berbeda, kami akan mencoba untuk memahaminya berdasarkan analisa terhadap perilaku masyarakat dan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan, pribahasa dan seni masyarakat. Terciptanya seni dan ungkapan atau pribahasa dalam masyarakat tentunya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa yang benar-benar mencerminkan identitas ke-diri-an dan karakter masyarakat. Dalam bahasa Sumbawa di sebut sebagai seni lawas, dalam bahasa Mbojo disebut sebagai Patu, dan dalam bahasa Sasak disebut sebagai Lelakak. Berdasarkan pembacaan atas prilaku dan kepribadian masyarakat yang berbasiskan pada kesenian tersebut konsepsi tentang elit bagi masing-masing etnis di NTB dapat diungkapkan.

1.Etnis Samawa[7]

Etnis Samawa adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Pulau Sumbawa bagian barat yang terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat. Sejarah Sumbawa masa lalu memperlihatkan bahwa realitas masyarakat Sumbawa hari ini merupakan bentuk asimilasi dari berbagai latar belakang ras, suku dan budaya. Tercatat bangsa Austronesia Deutro Melayu dengan ras mongoloid dari daratan asia tenggara yang sebagian besar keturunan Homo Wajakensis melakukan gelombang migrasi ke wilayah nusantara hingga Sumbawa pada sekitar 1500-500 SM. Migrasi penduduk dari luar Sumbawa terus terjadi hingga pada massa Hindu Budha dan priode Islamisasi Nusantara pada abad ke 16. [8] Gabungan suku, ras dan budaya dari berbagai latar belakang inilah yang membentuk satu kesatuan Etnis Samawa atau masyarakat Sumbawa lebih suka menyebutnya dengan Tau Samawa (orang sumbawa) akibat dari proses interaksi, dialektika dan kebersamaan yang begitu lama. Sehingga berbagai latar belakang yang berbeda tersebut menyatu dalam sistem adat istiadat dan kebudayaan etnikSamawa yang kemudian disebut “adat rapang tana samawa” (tata cara dan adat istiadat warga etnikSamawa).Dari sisi sistem adat istiadat dan kepercayaan/agama yang dianut oleh warga etnikSamawa, sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin, di mana adat istiadat Tana Samawa ditetapkan menurut Adat Rapang Tana Samawa, yaitu “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”, artinya bahwa etnik Samawa yang mayotitas Islamsepertiumat Islam pada umumnya, mengikutisegala aturan menuruthukum-hukum Islam yang percaya akan kitab suci Alquran dan Alhadist sebagai pedoman hidup, serta hukum-hukum negara yang berlaku secara formal.

Heterogenitas masyarakat yang diikat oleh satu kesamaan rasa dan kesatuan adat istiadat melahirkan konsepsi tentang pemimpin ataupun elit yang sangat egaliter. Pada massa kerajaan, masyarakat Sumbawa tidak mengenal sistim monarkhi absolut. Raja belum tentu lahir dari keluarga kerajaan, dalam artian anak raja belum tentu akan menggantikan posisi ayahnya sebagai raja. Orang yang pantas menjadi raja Sumbawa adalah dia yang memenuhi kereteria sebagaimana yang akan ditentukan oleh sebuah tim yang berasal dari pemangku agama. Pada massa modern ini konsepsi tentang elit bagi masyarakat Sumbawa tentunya tidak akan bisa lepas dari memori kolektif masa lalu yang dibentuk oleh sejarah, realitas budaya dan ilmu pengetahuan. Sikap terbuka, kompromis, demokratis, egaliter, toleran, adalah hasil dialektika panjang sejarah yang membentuk identitas diri orang Sumbawa. sikap-sikap tersebut terlihat dalam lawas atau pribahasa Sumbawa yang juga akan memperlihatkan kepada kita tentang konsepsi elit bagi masyarakat Sumbawa.

Manatau sabarang kayu (Walau siapapun itu/orang sembarang orang)

Lamin to’ sanyaman ate (Jika mampu menciptakan kebahagiaan)

Ba nan si sanak parana (Maka itulah dia saudaramu)

Demikian pula egalitarianisme Masyarakat Sumbawa, yang terlukis dalam lawas sebagai berikut:

Mana si ka rowe cinde(Walupun ia turunan cindai/sutera)

Lamin dadi tali lampak (Kalau jadi tali sandal)

Ya rik repa si ling tau(Akan terinjak juga oleh orang)

Mana si ka rowe lutung(Walaupun ia turunan kain lutung (hitam)

Lamin dadi si kopiah(Kalau jadi kopiah/peci)

Urung ke junyung ling tau (Tak urung pasti terjunjung)

Lawas tersebut di atas menggambarkan kepada kita bahwa keterbukaan dan egalitarianisme masyarakat Sumbawa pada dasarnya tidak membedakan suku, ras dan budaya bagi siapa yang menjadi pemimpin mereka. Di tengah masyarakat Sumbawa sendiri pengaruh darah biru sudah semakin kabur. Penyebutan ”Lalu” bagi keluarga keturunan raja sudah tidak memiliki signifikansi sebagai alat dikotomi antara elit dan massa. Elit akan timbul dari keluarga yang mendapatkan akses pendidikan tinggi kemudian mampu bersaing melalui jalur-jalur demokratis untuk menempati posisi struktur atas.

Keterikatan masyarakat oleh kesatuan adat ke-Sumbawa-an baru akan timbul jika sentimen eksistensi ke-Tau Samawa-an (perasaan sebagai orang Sumbawa) mereka diganggu atau jika dihadapkan pada rivalitas dengan etnis lain di luar kesatuan adat masyarakat Sumbawa. Hal ini terlihat dalam ungkapan (Lawas) masyarakat Sumbawa sebagai berikut:

Manalenas mu gita (Walaupun terlihat tenang )

Mara ai dalam dulang (Bagai air di dalam tempayan)

Rosa dadi umak rea (Jika diganggu bisa bergolak seperti ombak di lautan).

Lawas ini memperlihatkan bahwa masyarakat Sumbawa masih memiliki sentimen primordial yang begitu kuat ketika eksistensi dirinya sebagi masyarakat Sumbawa di ganggu. Artinya konsolidasi politik yang mengatasnamakan kesatuan identitas etnis masih signifikan dan akan melahirkan gelombang reaksi masyarakat yang sangat tinggi, meskipun konsepsi tentang elit bagi masyarakat Sumbawa murni dimiliki oleh masyarakat yang mendapat kekuassan dalam pemerintahan. Pada masyarakat etnis Samawa hampir dikatakan pembedaan perlakuan bagi keluarga keturunan bangsawan sudah tidak ada. Namun bukan berarti kelekatan identitas ke-Samawa-an menjadi hilang. Kegagapan masyarakat dalam memaknai elit justru menjadi titik sentimentil bagi masyarakat Sumbawa ketika politik identitas dimainkan.

2.Etnis Mbojo[9]

Etnis Mbojo adalah masyarakat yang menghuni pulau Sumbawa bagian timur yaitu di kabupaten Dompu, kabupaten Bima dan Kodya Bima. Dialektika sejarah dan asimilasi budaya yang membentuk kesatuan masyarakat etnis Mbojo tidak berbeda dengan proses keterbentukan masyarakat etnis Samawa. Egalitarianisme dan keterbukaan serta toleran juga begitu kental terlihat pada identitas etnis Mbojo.Budaya Maja Labo Dahu (Malu dan takut) Malu kepada manusia (karena selalu membuat pekerjaan tercela) dan takut kepada Tuhan. Ungkapan ini memperlihatkan eksistensi etnis Mbojo yang selalu memandang kediriannya dalam dua aspek yaitu horizontal sesama umat manusia dan vertikal, bahwa semua tindakan memiliki sinergitas dengan pengabdian kepada Allah SWT. Budaya Maja Labo Dahu inilah yang dipegang kuat oleh etis Mbojo dalam berbagai ruang maupun pembagian struktur masyarakat baik elit maupun massa. Dalam ungkapan tersebut juga terlihat nilai etos kerja yang tinggi, mereka akan sangat malu jika tugas dan pekerjaan yang dilakukan tidak sukses dan berhasil dan juga takut kepada Tuhan jika cara dan methode dalam mencapai kesuksesan melanggar nilai ke-Islam-an. Sehingga dalam pembagian struktur masyarakat antara elit dan massa tidak menjadi hal yang begitu penting bagi masyarakat, karena hal yang paling penting adalah mampu melakukan tugas dan mencapai keberhasilan dalam struktur pembagian kelas masing-masing, sehingga kesempatan bagi darah biru untuk menempati posisi penguasa pada era modern ini merupakan hal yang lumrah dan dapat diterima oleh masyarakat Mbojo. Dan konsepsi tentang eit adalah mereka yang mampu melaksanakan perannya sebagaimana yang terkandung dalam ungkapan Maja Daho labu.

Dou Mbojo sebutan bagi etnis Mbojo yang berarti orang Mbojo (Bima dan Dompu) memiliki hubungan kekerabatan yang begitu kuat dan mengikat sesama etnis. Budaya merantau yang dimiliki oleh etnis Mbojo dengan memegang Patu (pribahasa) Maja Labo Dahu yang ungkapan ini juga memiliki kandungan makna malu melihat saudara yang tidak berhasil, mampu menjadi pelekat antara etnis Mbojo dimanapun berada. Ederu nahu sura dou labo dana,  merupakan ungkapan yang menggambarkan identitas dan bentuk kepribadian pemimpin terhadap masyarakat dan daerahnya. Gaya kepemimpinan pada etnis mbojo digambarkan dalam Patu (ungkapan pribahasa Bima) yang berbentuk nasehat massa bagi elit, sebagai berikut:

Ai Na Kani Ilmu Mbia Oo (Jangan Pakai Ilmu Belah Bambu)
Ma Ese Di Hanta (Yang Diatas Diangkat)
Ma Awa Di Tonda(Yang Dibawah Diinjak-Injak)

Patu (ungkapan) ini mempunyai nilai bahasa yang sangat keras pada masyarakat di kabupaten Bima dan Dompu yang ditujukan pada pemimpin pembuat kebijakan. Berbagai ungkapan (Patu) memperlihatkan begitu kuatnya sistim kontrol dan partisipasi masyarakat atas pemimpin (elit). Sebagaimana yang tergambar dalam Patu sebagai berikut:

NGGAHI RAWI PAHU Yaitu SATU KATA DENGAN PERBUATAN

Kelekatan hubungan antar masyarakat yang diikat oleh kesatuan sistim adat, budaya dan bahasa (bahasa Mbojo) serta hubungan yang begitu dekat dengan elit menjadi faktor yang memperkuat politik identitas pada etnis Mbojo (Bima dan Dompu). Hal ini akan bermakna positif dalam upaya pelestarian kekayaan khasanah kearifan lokal, namun juga akan bermakna negatif jika konsolidasi massa politik dilakukan dengan sentimen politik identitas. Kelompok elit dalam masyarakat Kabupaten Bima dan Dompu terbentuk berdasarkan sistim modern, yaitu masyarakat yang mendapatkan akses pendidikan dan memiliki jabatan pada pemerintahan. Di samping ruang sturuktural dan fungsional yang memberikan batasan identitas antara elit dan massa, memori kolektif masyarakat akan kesatuan identitas dan sistim adat tidak mengaburkan penghormatan massa atas kelompok darah biru. Kemanunggalan antara pemangku adat dengan pemangku agama pada massa kerajaan menjadikan dedikasi para keturunan bangsawan tidak dilupakan. Bupati yang memerintah kabupaten Bima hari ini merupakan ketrunan dari raja Bima, yang kalau bisa dikatakan kemampuannya dalam mengkonsolidasi massa untuk memenangkan Pilkada tidak terlepas dari kepercayaan dan penghormatan masyarakat atas dedikasi para bangsawan Bima.

3.Etnis Sasak

Etnis Sasak adalah masyarakat NTB yang sepenuhnya menghuni pulau Lombok. Masyarakat Suku Sasak di Lombok mengenal satuan komunitas dari tingkat yang terkecil yang disebut “k u r e n” (jawa: batih), disinilah proses pembelajaran dan pewarisan tata nilai kearifan mulai berlangsung. Selanjutnya pengamalan tata nilai itu terus berlaku dan bahkan mewujudkan ciri has sebagai karakter sebuah komunitas yang lebih besar yang di kalangan masyarakat sasak dikenal dengan istilah “k a d a n g” (kerabat). Selanjutnya dalam lingkup yang terluas dari satuan masyarakat yang terluas yaitu suku bangsa, adat ditaati sebagai hukum yang hidup dan terinternalisasi dalam prilaku berinteraksi.[10]

Untuk dapat memahami karakter identitas masyarakat sasak secara lebih mendalam (dalam hal ini adat sasak), maka haruslah diketahui dan dimengerti makna dari setiap prangkat simbulnya. Prangkat simbul yang bermakna ini dapat ditemui dalam berbagai sumber, seperti: ungkapan dalam komunikasi sehari-hari, interaksi dan transaksi-transaksi adat, bait-bait pantun yang disebut “l e l a k a q” atau “l a w a s”, petuah para orang tua (sasak :pengelingsir) yang disebut “p e r t e k e”, dongeng-dongeng tradisional yang disebut“waran”atau “t u a r a n”, perumpamaan-perumpamaan yang disebut “sesenggak”, selain itu ada juga sumber-sumber tertulis seperti naskah-naskah kuno (lontar, babad) dll. Salah satu naskah (sumber tertulis) yang sangat perlu diketahui dan dibaca adalah “Naskah Lontar Kotaragama” yang berisi nilai-nilai luhur dan ajaran-ajaran tentang jati diri. Kotaragama terdiri dari dua kata yaitu “kotara” dan “gama”. Kotara berarti wilayah dan gama berarti aturan atau hukum. Jadi kotaragama berarti aturan atau hukum yang berlaku di suatu wilayah”.[11]

Dari sumber-sumber tersebut, dapat dikemukakan beberapa prinsip yang terkandung dan menggambarkan identitas masyarakat etnis sasak sebagai berikut :[12]

a.Prinsip Kejujuran Dan Kesetiaan Memegang Janji

Sifat tersebut di dalam Kotaragama disimbulkan dengan kata “danta” (gading gajah), “danti”(ludah), “kusuma”(bunga), “warsa”(hujan), artinya : setiap kata-kata yang diucapkan atau janji-janji yang diikrarkan wajib dipegang dan dipertahankan dengan kukuh bagaikan gading gajah yang apabila telah keluar tidak akan masuk lagi, jika berludah tidak akan dijilat kembali, bagaikan bunga yang tidak akan mekar dua kali dan hujan jika telah turun tidak akan kembali naik. Sehubungan dengan ungkapan tersebut, sebuah sesenggak dalam bahasa sasak mengatakan :”sampi betali isiq pepit, manuse betali isik raos” artinya, sapi diikat dengan seutas tali, sedangkan manusia diikat dengan kata-katanya.

b. Prinsip-Prinsip Dalam Kepemimpinan

Dalam Kotaragama diatur macam-macam sifat yang terpuji antara lain, rakyat tidak boleh “nganut” (sekehendak hati), “sadu” (mengambil hak orang lain), “tahu” (bersifat mendua), “kawanten” (menyebarkan aib pimpinan), “jahil” (mempitnah pemimpin). Sedangkan setiap pemimpin terhadap rakyat haruslah bersifat seperti :”giri suci” (bagaikan sebuah gunung yang suci dan anggun), “surya” (matahari yang menerangi orang sebumi), “sasangka” (bulan yang bersinar lembut dan tidak dinyalakan), “jaladri” (bagaikan laut, menampung segala aspirasi), “bahni pawaka” (bagaikan api, tidak gentar menghadapi kezaliman), “nilatadu” (bagaikan langit, tetap pada keagungan). Ungkapan simbolik dalam sesenggak sasak mengatakan “embe aning jarum, ito aning benang”yang berarti kemana arah jarum kesitu arah benang (rakyat taat kepada pemimpin yang adil), “pancing udang lain dait pancing tune” yang berarti pancing udang, berbeda dengan pancing ikan tuna (pendekatan terhadap orang dilakukan dengan cara yang sesuai dengan watak dan keadaannya), “tumpu mandi isiq penyadu” yang berari obat mujarab oleh kepercayaan (pemimpin harus mendapat kepercayaan dari rakyatnya).

c. Prinsip-Prinsip Dalam Menegakkan Ajaran Agama

Pengamalan hukum adat sasak pada hakekatnya menghendaki setiap orang untuk selalu menjaga hubungan yang harmonis baik antar sesama, hubungan dengan alam sekitar, semuanya harus dijalani dengan mengharapkan redho dari Allah SWT, Tuhan semesta alam. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan antara lain : “Agama beteken lan betakaq adat” yang berarti agama bertiang dan berwadah adat (adat istiadat yang berlaku harus berfungsi menegakkan dan mensucikan agama), “ndaq ta ngaken barak api” (jangan kita makan bara api - larangan untuk memakan riba), “pacu-pacu punik akherat” (rajin-rajin mencetak akherat - bersungguh-sungguh berbuat kebajikan), “rurung bender, turne gantar” (jalan lurus lagi pula lebar - kesejahtraan dan ketentraman hidup karena menuruti ajaran agama).

d. Prinsip-Prinsip Kebersamaan Dan Gotong Royong

Hukum Adat sasak sangat menjunjung tinggi kebersamaan dalam menjalani kehidupannya baik dilingkungan keluarga, kerabat dan dilingkungan yang lebih luas. Rasa kebersamaan diharapkan selalu menjiwai setiap individu dalam menjalani kehidupan bersama yang dalam aplikasinya antara lain tercermin dalam wujud kerja sama tanpa pamrih yang disebut gotong royong. Nilai kebersamaan dan gotong royong ini tercermin dalam berbagai ungkapan yang mengandung kearifan antara lain :“Sorong jukung leq segara, bareng onyak bareng lenge”= dorong perahu di laut, bersama-sama baik bersama-sama buruk (jalankan hidup senasib dan sepenanggungan), “sipat anak empaq, tao pesopok diriq = sipat anak ikan, bisa menyatukan diri (perselisihan dan perbantahan harus dihindari), ungkapan-ungkapat yang mengandung nilai kearipan dalam lelakaq sasak seperti “beriuk”, “beriuk tinjal”= serempak/selangkah/seayun dalam bekerja, “reme”=solidaritas dalam bekerja sama, “siru”=saling berbalas dengan kebaikan.

Berdasarkan pedoman di atas sangat jelas terlihat bentuk kelekatan sosial yang dimiliki oleh masyarakat etnis Sasak. Di samping itu konsepsi elit bagi masyarakat Sasak yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ke Islaman, menempatkan tokoh agama menjadi panutan bagi masyarakat. Para pimpinan umat yang berasal dari jamaah Nahdatul Wathon (NW) yang didirikan oleh Tuan Guru Madjid atau sering disebut dengan Tuan Guru Pancor menjadi pemangku agama dan sekaligus menjadi pemangku adat (adat bersendi Syara’ syara’ bersendi kitabullah) yang sangat di hormati. Selain dari tokoh agama Islam, pembagian peranata sosial masyarakat juga terbentuk berdasarkan sejarah keturunan raja-raja Sasak. Para keturunan raja di berikan gelar Lalu sebagai penanda kebangsawanan. Pada massa modern, egalitarian masyarakat Sasak tidak menutup ruang bagi lahirnya kelompok elit baru seperti elit yang lahir dari kemampuannya dalam mengakses pendidikan, elit politik, elit yang memiliki sumber kekuasaan pemilikan atas tanah dan ternak dan lainnya.

1.Setting, Sejarah Dan Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa[13]

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terletak antara 115'45 - 119°10 BT dan antara 8°5 - 9°5 LS. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan di barat dengan Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.32,19 Km2 yang terdiri atas daratan 20.153,07 Km2 dan lautan 29.159,04 Km2. Dua buah pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas wilayah daratan 4.738,70 Km2 (23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 Km' (76,49%). Selain itu juga dikelilingi ratusan pulau kecil. Pulau-pulau kecil tersebut diantaranya Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan, Gili Gede, Gili Nanggu, Gili Tangkong, Pulau Moyo, Pulau Bungin, Pulau Satonda, Pulau Kaung, dan Pulau Panjang.Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena terletak pada lintas perhubungan Banda Aceh-Kupang yang secara ekonomis cukup menguntungkan. Selat Lombok di sebelah barat dan Selat Makasar di sebelah utara merupakan jalur perhubungan laut strategis yang semakin ramai dari arah Timur Tengah untuk lalu lintas bahan bakar minyak dan dari Australia berupa mineral logam ke Asia Pasifik. Merupakan lintas perdagangan ke Kawasan Timur Indonesia ( Surabaya Makasar). Terletak pada daerah lintas wisata dunia yang terkenal: Bali-Komodo-Tanah Toraja.[14]

Secara administratif NTB beribukota di Kota Mataram dan terdiri atas 7(tujuh) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, masing-masing 4 (empat) Kabupaten/Kota berada di Pulau Lombok dan 5 (lima) Kabupaten/Kota berada di Pulau Sumbawa. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. Kesamaan budaya, agama dan sistim sosial masyarakat mengikat wilayah ini menjadi satu kesatuan teritorial dalam bentuk propinsi, setelah sebelumnya berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB, dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958. Propinsi NTB meliputi dua wilayah pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa. 50 tahun sudah umur propinsi NTB hari ini, tingkat pembangunan belum dapat dikatakan maju. Kementerian Koordinator Kesra menetapkan provinsi Nusa Tenggara Barat dan provinsi Papua sebagai provinsi terburuk dalam pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB secara nasional masih berada pada urutan ke 32 dari 33 propinsi di Indonesia. Posisi itu, belum bergeser dan menempatkan NTB pada peringkat kedua terbawah. Indikator penilaian meliputi 3 hal yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, dan daya beli masyarakat. Angka harapan hidup NTB berkisar hanya sampai 60,9 tahun. Tertinggi di Mataram dan terendah di Lotim. Pada komponen pendidikan, yang tercatat dengan Angka Melek Huruf (AMH) usia 15 tahun ke atas, NTB berada pada angka 80,1 persen. Tertinggi di Kota Mataram dan terendah di Lombok Tengah (Loteng). Angka ini dikatakan mengalami kenaikan dibandingkan periode 2004-2006. Komponen terakhir, yakni pada paritas daya beli masyarakat NTB jika dibandingkan tahun 2005 mengalami sedikit kemajuan. Pada porsi rata-rata pengeluaran sebagai bagian dari indikator penghitungan BPS ini tercatat rata-rata pengeluaran masyarakat NTB Rp 623,9 ribu perkapita. Adapun indeks pendapatan hanya 61,0.[15]

Staf khusus Menko Kesra Lalu Mara Satriawangsa menilai, pemerintah provinsi NTB gagal memanfaatkan potensi daerah untuk memberikan akses pendidikan dasar dan meningkatkan angka harapan hidup masyarakat. " Daya beli masyarakat NTB yang tinggi lebih banyak dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan prestise dan tidak dimanfaatkan untuk berinvestasi di bidang pendidikan dan kesehatan".[16]

Kompleksitas permasalahan pembangunan di NTB melahirkan resistensi masyarakat, terutama berasal dari masyarakat yang berada di pulau Sumbawa. Kesenjangan pembangunan antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa menjadi awalan resistensi massa. Hal ini diakibatkan oleh representasi masyarakat pulau Sumbawa yang sangat minim di tingkatan propinsi. Data menunjukkan bahwa luas pulau Lmmbok yang hanya 23,51 persen atau sepertiga dari luas pulau Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan 70,65 persen penduduk NTB. Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi satu kota dan empat kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan tiga kali pulau Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang berarti kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi.[17] Data tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat kesenjangan representasi massa yang mengakibatkan terjadsinya dikotomi antara ke dua pulau. Data tersebut tentunya akan berpengaruh pada konfigurasi elit yang menguasai di propinsi. Dalam Pemilihan Gubernur yang akan berimbas pada penempatan posisi jabatan strategis di propinsi, tentunya etnis sasak yang memiliki kwantitas penduduk tiga kali lipat dibandingkan dengan kwantitas penduduk di pulau Sumbawa yang sesungguhnya memiliki luas wilayah tiga kalipat lebih luas dari wilayah pulau L:ombok akan diuntungkan dengan kemenangan angka. Peroblem representasi ini dapat terlihat dari keterwakilan pulau Sumbawa dengan 1 kota dan 4 kabupaten hanya diwakili oleh satu orang dalam pemilihan DPD sedangkan tiga lainnya berasal dari pulau Lombok. Begitu pula representasi yang senjang antar ke dua pulau terlihat dalam komposisi anggota DPR RI dan juga DPRD propinsi. Kesenjangan representasi ini di pertajam kembali oleh kesenjangan tingkat pembangunan dan akses pelayanan publik antar ke dua pulau. Kurang pembangunan infrastruktur di pulau Sumbawa seperti dalam pembangunan jalan raya, baik yang menjadi kewenangan dari pemerintah propinsi maupun yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten sangat terlihat dan menjadi pemicu dikotomi antara pulau Sumbawa dan pulau Lombok.

Fakta tersebut dimanfaatkan oleh kelompok elit lokal dari kedua etnis yang mendiami pulau Sumbawa, yaitu etnis Sumbawa dan etnis Sasak untuk menggiring opini massa kepada isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa sebagai satu-satunya jawaban atas kesenjangan pembangunan. Pada akhir tahun 2000 bersamaan dengan terbukanya ruang politik baru bagi masyarakat daerah dengan kebijakan otonomi daerah wacana pemisahan diri pulau Sumbawa dari Propinsi NTB menjadi terangkat ke permukaan.

Pulau Sumbawa adalah salah satu pulau besar di Provinsi NTB yang telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 1958. Letak geografisnya adalah antara antara 115o49’-119o23’ Bujur Timur dan 08o05’-09o09’ Lintang Selatan, dibatasi di sebelah Utara oleh Laut Flores, di sebelah Selatan samudra Hindia / Indonesia, disebelah Barat oleh Selat Alas dan sebelah timur oleh selat Sape.

Sebelum digabungkan dengan Pulau Lombok menjadi satu provinsi NTB, pulau Sumbawa merupakan salah satu bagian dari Provinsi Nusa Tenggara yang sebelum tahun 1950 bernama Provinsi Sunda Kecil, besama dengan pulau Bali, Lombok, Sumba, Flores dan Timor Kepulauannya. Pulau – pulau yang tergabung dalam provinsi Nusa Tenggara tersebut kemudian dibentuk dengan Undang-undang yaitu lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 tahun 1946 ) menjadi “Daerah” yaitu daerah Bali, Daerah Lombok, Daerah Sumbawa, Daerah Sumba, Daerah Flores, dan Daerah Timor dan Kepulauannya. “Daerah” tersebut memperoleh penyerahan kekuasaan / urusan – urusan dari Swapraja – Swapraja yang ada di dalam daerah Masing – masing. Sedangkan Pemerintahan Daerah terdiri dari kepala Daerah dan Dewan Raja – raja. Hal ini dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950.

Perjanjian penyerahan kekuasaan / urusan – urusan dari Swapraja – Swapraja kepada Daerah yang ditandatangani oleh DewanRaja – Raja tersebut yang kemudian dikenal dengan nama daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari padaOtonomi Daerah yang lazim dicantumkan dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah. Daerah Statuta Pulau Sumbawa dibentuk dengan Undang-Undang Federasi Pulau Sumbawa yang ditetapkan oleh Raja-Raja di Pulau Sumbawa pada tanggal 23 Agustus 1948.

Kemudian dengan berlakunya UU NIT Nomor 44 Tahun 1950 (Stb. Nomor 44 tahun 1950) maka daerah tersebut menjadi daerah menurut UU NIT Nomor 44 tahun 1950 yang selanjutnya sejauh mungkin disesuaikan dengan UU Nomor 22 tahun 1948 (yang berlaku untuk bekas wilayah RI Yogyakarta serta Daerah –daerah lain yang tidak termasuk wilayah Indonesia Timur, akan tetapi mengenai otonominya ’daerah’ tetap lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten di Jawa.

Menurut catatan resmi dari Kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja, keinginan rakyat mengenai pembagian daerah Nusa Tenggara menjadi Daerah Swatantra Tingkat I adalah sama dalam tuntutan maksimalnya, yaitu : semua keinginan agar masing- masing daerah pulau dijadikan Daerah Swatantra Tingkat I.

Alasan mereka pada dasarnya sama dan sederhana, yaitu agar daerahnya pesat maju dalam pembangunan, karena menurut pengalaman pada waktu itu daerah yang dekat dengan pusat / ibukota pemerintahan lebih pesat dalam hal pembangunan dari pada daerah yang jauh dari pusat / ibukota pemerintaha. Tetapi akhirnya DPR – RI memutuskan Nusa Tenggara menjadikannya 3 Daerah Swantantra Tingkat I, yaitu Bali berdiri sendiri, NTB terdiri dari pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, dan NTT terdiri dari pulau Sumba, Pulau Flores, dan Pulau Timor dan Kepulauannya, sebagaimana termuat dalam UU nomor 64 tahun 1958.

Ditinjau dari segi sejarah, di pulau Sumbawa sejak 500 tahun yang lalu telah berjalan pemerintahan kerajaan yang berkesinambungan dari abad 14 sampai dengan abad 20 yaitu kerajaan Bima, Dompu, dan Sumbawa. Masing-masing kerajaan mempunyai kesatuan pemerintahan Adat dan perangkatnya dan wilayah kekuasaannya meliputi batas wilayah Kabupaten sekarang ini.

Dari tradisi tulis menulis tersimpan sampai sekarang di Bima dokumen naskah-naskah lama yang tercatat kegiatan pemerintahan yang tertib dan demokratis, sejarah kebudayaan telah ada jauh sebelum kedatangan agama Islam hingga dijalankan pemerintahan menurut Agama Islam dan adat setempat. Termasuk pula hubungan interaksi antar daerah dengan daerah-daerah lain seperti Makasar, Kalimantan, Jawa, Sumatera dll.

Keadaan ini yang ditemukan oleh VOC (Belanda) waktu pertama kali datang ke Bagian Timur Indonesia tahun 1667 yang disambut dengan perlawanan dan pertempuran yang pada suatu saat mengakibatkan dibuatnya perjanjian politik dengan para Raja-raja di Pulau Sumbawa (yang setelah beragama Islam disebut Sultan) dengan pengakuan kedaulatan Raja atas Wilayahnya sendiri, berhak menjalankan pemerintahan dan hukumnya sendiri. Perjanjian / kontrak ini tetap berlaku dengan pembaharuan dan perubahan sampai dengan terakhir diperbaharui pada tanggal 13 Desember tahun 1938( kontract met Bima En Sumbawa ).

Pada saat menghadapi VOC ketiga kerajaan di Pulau Sumbawa tetap bersatu dan bersama–sama menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh pihak luar dan secara berkala mengadakakan hubungan kunjungan–kunjungan, musyawarah dan bahkan sejak beberapa abad menjalin hubungan keluarga kawin mengawin / antar keluarga raja maupun warga masyarakat.

Ketiga daerah Swapraja di Pulau Sumbawa merupakan daerah yang disebut dengan zelfbestuur (daerah berpemerintahan sendiri) yang tidak langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di dalam istilah pemerintahan digolongkan, yang dinamakan dengan indirect Bestuurs-Gebied adalah yang tetap diperlakukan sampai dihapusnya status daerah Swapraja dengan UU Nomor 1 tahun 1957.

Kerajaan–kerajaan lain yang pernah ada di pulau Sumbawa adalah kerajaan Pekat dan Tambora, hilang / hapus setelah meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1814 dan Kerajaan Sanggar digabungkan ke Kerajaan Bima pada tahun 1929, sebagai ganti daerah Manggarai di Flores yang dimasukkan ke wilayah Pulau Flores.

Gaung pembentukkan Provinsi Sumbawa mulai terdengar saat Harun AlRasyid menjabat sebagai Gubernur NTB tahun 1998. Gaung ini terkait dengan banyak posisi di Pemprov NTB yang semula diisi oleh etnis dari pulau Sumbawaa digantikan oleh Etnis Sasak. Ditambah dengan perencanaan Pemprov NTB yang justru memberikan porsi yang lebih besar dalam hal anggaran pembangunan untuk pulau Lombok. Kenyataan ini melahirkan perlawanan dari komponen masyarakat yang berasal dari pulau Sumbawa, perlawanan ini muncul sejak tahun 1999 di saat umur pemerintahan Harun baru setahun.

Selain minim keterwakilan etnis Sumbawa di Pemerintahan Provinisi, semangat pembentukan Provinis Sumbawa juga diilhami oleh minimnya keterwakilan etnis Sumbawa di tingkat DPR / MPR RI. Saat itu, semua utusan daerah yang berjumlah 4 orang berasal dari etnis Sasak. Perjuangan untuk menempatkan wakil dari pulau Sumbawa tidak pernah diakomodir. The Reseach Network Strategic for Sumbawa (RNS2) atau yang dikenal dengan Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa yang didirikan di bandung pada tanggal 30 Agustus 1999 mulai mengadakan kampaye tentang perlunya pembentukan Provinsi Sumbawa. RNS2 mulai berkampanye melalui opini-opini melalui media massa local yang ada di NTB. Tahun 2000 mulai menyebarkan leaflet yang berisi pesan moral pembentukan provinsi Sumbawa.

Tepat tanggal 11 Desember 2000 RNS2 mulai meluncurkan milis dengan nama http://yahoogroups.com/group/propinsi_sumbawa Dari milis tersebut kemudian RNS2 meluncurkan media online beralamat di http://sumbawa.tripod.com. Dan kemudian pada tahun 2006 berubah menjadi www.sumbawanews.com. Pada tahun 2001 The Research Network Strategic for Sumbawa, Ikatan keluarga Sumbawa Bandung ( IKSB ), Ikatan Keluarga NTB - Jabar ( IKNTB - Jabar ), Pusat Peran Serta Masyarakat Presidium Sumbawa, Yayasan pemberdayaan & Pengembangan Masyarakat desa ( YPPMD ), Forum Silaturahmi Generasi Muda Alas ( Forsema ) telah mengeluarkan media Support yang berisi semangat pembentukan propinsi Sumbawa dan pemekaran wilayah di kabupaten Sumbawa. Bentuk media yang telah disebarkan berupa :

a. Kartu lebaran sebayak 1150 lembar dengan distribusi seluruh anggota DPR / MPR RI di jakarta, pejabat-pejabat pemerintah, DPRD Pemprop NTB, Pejabat di NTB, DPRD & Pemda Pemkab di Pulau Sumbawa, tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan media massa

b. Pamplet Sebanyak 4000 lembar yang disebar diwilayah NTB.

Di Jakarta, Acara halal Bihalal yang diadakan oleh Badan Komunikasi masyarakat Pulau Sumbawa (Bakom MPS) Jakarta sekaligus dirangkaikan dengan deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. acara yang berlangsung pada hari Minggu, 14 januari 2001 dilakasanakan di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia. Acara yang melibatkan tiga komponen masyarakat Pulau Sumbawa, yaitu Sumbawa, Bima dan Dompu tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh lokal NTB yang juga aktif mensosialisasi pembentukan propinsi Sumbawa. Tiga utusan dari NTB yang mengatasnamakan TIM Pengkajian Pengembangan Pulau Sumbawa ( TP3S ) propinsi NTB yaitu Bpk. M. Yakup MT, Ibu Mariyam dan KH. Ust Zulkifli dari Taliwang Sumbawa yang hari ini mejabat sebagai Bupati kabupaten sumbawa Barat.

Di sumbawa sendiri pada saat yang sama sudah terbentuk Forum pengkajian pengembangan Pulau Sumbawa yang juga melaksanakan seminar padaSenin, 23 january 2001.seminar yang mengetengahkan tema rencana pembentukan propinsi Sumbawa di gelar di Sumbawa Besar. seminar yang diikuti sekitar 400 orang ini, sepakat bahwa propinsi sumbawa tetap merupakan target utama masa depan pulau Sumbawa. Sementara itu di Mataram dalam acara Halal Bihalal Masyarakat Pulau Sumbawa di Lombok, minggu, 28 January 2001 dirangkaikan dengan Deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. Ketua TIM Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (P3S) NTB Bapak. Yakub MT. menjelaskan pemebentukan propinsi Sumbawa merupakan keharusan bagi masyarakat pulau Sumbawa, untuk kemudian NTB hanya akan menjadi Wilayah Lombok saja. Ditempat terpisah, pada waktu yang sama hari Minggu, 28 january 2001 dilaksungkan halal Bihalal warga Sumbawa sebandung raya. Pada kesempatan tersebut digelar dialog mengenal isue daerah Sumbawa terkini. termasuk rencana pembentukan propinsi Sumbawa. Acara yang dihadiri oleh (Hatta Taliwang Anggota DPR RI), Drs. saruji Masnirah, MSI, Drs. Hatta Yusuf, Drs. Darmakusumah, Msi, Kol. TNI. AL. Mochtar Adam dan sesepuh Sumbawa di Bandung cukup meriah. Pada tanggal 25 Perbuari 2001 diadakanlah sarasehan nasional masyarakat pulau Sumbawa di Bandung yang bertemakan “Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa – Bandung. Dalam sarasehan tersebut terkuak Wacana pembentukan propinsi Sumbawa yang merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata di antara etnis di NTB.

Sebelum sarasehan ini terlaksana, insiden retaknya komponen pengusung pembentukan provinsi Sumbawa mulai terjadi. Hal ini terkait dengan pemberitaan kompas 14 Pebruari 2001 yang mengutip pernyataan Mendagri bahwa pemerintah telah menerima usul pembentukan Provinsi Bima. Beberapa perwakilan dari Mataram, Sumbawa, Jakarta dan Jawa Barat hadir dalam sarasehan di Bandung. Hasil sarasehan tidak ditanggapi positif oleh penggagas provinsi Sumbawa yang berasal dari Etnis Samawa, dikarenakan masih tidak percaya akan komitmen yang telah dibangun. Etnis Samawa tidak yakin jika provinsi terbentuk maka ibu kotanya berada di Kabupaten Sumbawa, apalagi dengan pemberitaan di harian kompas yang menyatakan provinsi Bima.

Hampir 2 tahun gema pembentukan Provinsi Sumbawa menghilang, bahkan wakil-wakil Samawa yang ada di Komite pembentukan provinsi Sumbawa yang ada di Mataram menarik diri Karena belum adanya klarifikasi tentang provinsi Bima. Awal tahun 2003, geliat pembentukan provinsi Sumbawa mulai terdengar dan beberapa kali di Jakarta diadakan pertemuan guna persiapan rapat paripurna komite pembentukan provinsi sumbawa pada tanggal 15 maret 2003. Mulai tahun 2003, Kommite Pembentukan propinsi Pulau Sumbawa (KP3S) mulai melakukan kampanye pembentukan provinsi Sumbawa, bahkan pernah melakukan roadshow sosialisasi ke Kab. Sumbawa, dan Kota Bima. Kampanye juga dilakukan dengan menyebarkan spanduk, poster dan realease melalui media massa local NTB.

Pada tanggal 19 November 2006 diadakan pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa dalam rangka persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. [18] Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi aerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Nota persetjuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR KAbupaten SUmbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Sekedar catatan, Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima dan Bupati dan Ketuan DPRD Kabupaten Dompu, sudah jauh hari mengeluarkan SK persetujuan pembentukan PPS dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamzan Zulva. Seperti halnya nota persetujuan bersama, Jamaluddin Malik atas nama Bupati Sumbawa dalam SK No. 1452 Tahun 2006 itu menegaskan kalau pemerintah Kabupaten Sumbawa akan menarik diri dari pembentukan PPS, jika kajian DPOD atau lembaga lain menyatakan kalau Kota Sumbawa Besar tiak menjadi IbuKota Provinsi. konon, penegasan yang sama dibuat oleh Bupati dan DPRD Kabupaten Sumbawa Barat. Pada tahun 2006 pula pemerintah kabupaten Sumbawa menganggarkan anggaran 100 juta rupiah dari APBD untuk mendanai Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S).

Kinerja KP3S selanjutnya mengarah kepada permintaan persetujuan dari DPRD Propinsi dan Gubernur NTB. Hasil yang cukup memuaskan diperoleh dengan dipersetujuan dari DPRD propinsi dan kebijakan gubernur NTB membentuk tim pengkaji pembentukan propinsi Pulau Sumbawa yang diketuai oleh Mantan Rektor UNRAM DR. Arifuddin Sahidu. Hingga hari ini tahun 2008 seluruh mata tertuju pada hasil penkajian naskah akademik yang disusun oleh tim pengkaji tersebut yang belum selesai hingga hari ini.

2.Peranan Dan Kepentingan Serta Dinamika Relasi Elit Dalam Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Yang Melahirkan Benih Konflik Horizontal

Isu pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa yang berawal dari sebuah euforia politik pasca orde baru, ditandai dengan dibukanya kran demokrasi dan runtuhnya sistim sentralisasi membawa angin segar perubahan bagi basis politik di daerah. Desentralisasi adalah kebijakan pertama sebagai penanda beralihnya rezim otoritarian. Alam keterbukaan ini disambut oleh berbagai daerah di Indonesia dengan tuntutan pemekaran wilayah. Tercatat terdapat 16 wilayah setingkat propinsi yang mengalami pemekaran dalam kurun waktu 10 tahun reformasi, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri, Daeng Muhammad Nazir mengatakan, masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dari 131 usulan tersebut, 17 di antaranya yang diajukan sebelum diberlakukannya UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah dibahas undang-undang pembentukannya oleh DPR. Daeng Nazir mengatakan, sejak 1999 hingga 2004 telah terbentuk sekitar 150 daerah otonom, terdiri atas 117 kabupaten dan 27 kota serta tujuh propinsi baru. Dari beberapa daerah otonom baru itu, ada yang masih menghadapi berbagai kendala dan menimbulkan persoalan serta belum mampu mandiri seperti diharapkan. Berdasarkan evaluasi, sekitar 89,5 persen kabupaten/kota induk belum memberikan dukungan dana, sehingga sering terjadi sengketa. Lalu, 91,2 persen belum memiliki rencana umum tata ruang serta beberapa kabupaten/kota masih rebutan ibukota.

Propinsi pulau Sumbawa merupakan bagian dari wilayah di Indonesia yang mengalami dinamika tuntutan pemekaran. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa Sumbawa di berbagai daerah yang terkonstruksi oleh framing media akan dinamika maraknya dinamika pemekaran, maka lahirlah niatan masyarakat dan pemuda Sumbawa untuk mengambil bagian dalam berdialektika memikirkan keterbelakangan pembangunan di wilayah pulau Sumbawa sebagaimana tulisan kami pada bagian proses pemekaran propinsi pulau Sumbawa sebelumnya. Pada bagian ini kami kami lebih akan memfokuskan kajian pada peranan dan kepentingan elit dalam proses pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Elit sebagaimana konsepsi tentang elit dalam pandangan etnis di NTB, mengambil bagian dalam isu pemekran sejak awal isu ini digulirkan dalam sarasehan masyarakat pulau Sumbawa di Bandung. Isu-isu normatif yang meniscayakan pentingnya pemekaran wilayah propinsi NTB, menjadi lahan masuk elit untuk mengambil posisi dalam dialektika isu pemekaran. Di sisi lain data minimnya representasi elit di wilayah pulau Sumbawa dalam pengambilan kebijakan di tingkat propinsi NTB yang diakibatkan oleh kompsisi yang tidak seimbang dalam pembagian jabatan antara ke dua pulau semakin menguatkan posisi elit dalam dialektika isu.

Realasi kuasa antara refleksi sadar masyarakat di pulau Sumbawa atas realitas keterbelakangan pembangunan dengan kepentingan elit untuk mempertahankan kekuasaan dengan memperluas ruang kuasa menemukan titik temu dalam isu pemekaran peropinsi pulau Sumbawa. Elit dalam masing-masing etnis di pulau Sumbawa (Samawa dan Mbojo) yang memang secara geneologi memiliki basis pada sistim kultural etnis semakin mampu menanamkan legitimasi dirinya dalam memori kolektif massa dengan memperjuangkan isu populis yang sedang populer di masyarakat. Relasi kuasa makna tersebut tentunya menjadi ruang penting bagi elit untuk terus direproduksi dalam upaya mempertahankan agar tidak terjadi demotion bagi diri dan basis akar massanya.Kepentingan untuk tetap mendapatkan ruang kekuasaan, ketika tidak lagi mampu bersaing merebut dan mempertahankan ruang kuasa yang sedang mereka tempati hari ini pada tingkatan kabupaten, menjadikan elit mau tidak mau harus mampu menancapkan peranan yang kuat untuk mendukung dan mengupayakan keterbentukan propinsi pulau Sumbawa.

Kerapuhan sistim kultural etnisitas pada kedua suku (Samawa dan Mbojo) dalam pemaknaan atas elit bagi sukunya di tengah degradasi budaya modern akan nilai-nilai primordialisme, menjadikan elit politik yang ada hari ini mengalami promotion melalui sistim demokrasi baik yang memiliki akar kultural pada masing-masing suku maupun yang berasal dari pranata sosial rendah dalam terminologi kesukuan. Legitimasi etnisitas atas elit politik menjadikan para elit memandang isu pemekaran layaknya dua keping mata uang. Di satu sisi keberhailan dalam meperjuangkan isu pemekaran propinsi Sumbawa akan membawa mereka pada kemapanan kekuasaan politik yang di legalkan oleh negara dalam bentuk jabatan legislatif maupun esekutif, sedangkan pada sisi yang lain, kemampuan mereka dalam menempati struktur kekuasaan juga akan menambah legitimasi dirinya melalui pengakuan basis etnisitas dan mendapatkan ruang tersendiri dalam pranata etnis.

Kemampuan elit lokal pulau Sumbawa yang membaca begitu kuatnya resitensi masyarakat etnis Samawa dan Mbojo akan kebijakan negara jika sentimen primordial etnis dimainkan merupakan kepentingan lain bagi elit politik. Kondisi antropologis etnis Samawa dan Mbojo yang memiliki keterikatan yang sangat kuat dalam menjaga identitas keetnisannya, menjadi peluang besar bagi para elit untuk memainkan isu pemekaran dalam konteks negosiasi dengan pemerintah propinsi dan pusat. Menguatnya wacana politik identitas dalam berbagai kasus tiap menjelang pesta demokrasi di NTB adalah bagian dari dinamika penguatan politik identitas sebagai bergaining power percepatan pemekaran. Disinilah sisi negatif keterlibatan elit yang memainkan isu etnisitas dalam pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Mengedepankan politik identitas untuk mempertajam dialektika isu bukannya menjadikan percepatan realisasi pemekaran propinsi Sumbawa. Kepentinga elit dalam merebut kuasa dengan memainkan poilitik identitas justru melahirkan benih-benih konfliok horizontal pada ke tiga etnis besar di NTB. Perbedaan yang begitu signifikan pada ke tiga etnis besar di NTB yaitu Sasak, Samawa dan Mbojo di tandai dengan berbedanya bahasa dan identitas sistim adat yang mereka miliki merupakan celah besar bagi peluang terjadinya konflik horizontal. Tarik ulur keputusan pemerintah propinsi atas persetujuan pemekaran, pertentangan yang terjadi antara etnis Samawa dan Mbojo dalam penempatan posisi ibu kota propinsi disambut dengan percekcokan dalam interaksi masyarakat di tingkatan bawah. Almarhum Riswanda Imawan staf dosen fisipol UGM membaca dinamika konflik elit dengan teori pendulum yaitu, terjadinya sedikit pergesaran pada titik pendulum akan melahirkan sebuah dinamika besar pada ujung pendulum. Dalam hal ini politik identitas yang dimainkan oleh elit politik dalam melakukan negosiasi isu pemekaran melahirkan dialektika dinamika yang begitu besar pada basis massa etnisitas.

Titik benih konflik horizontal antar ke tiga etnis semakin menguat ketika muncul steatment Mendagri dan Otonomi, Suryadi Sudirja dalam harian kompas, Rabu, 14 Pebruari 2001. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah menerima usulan pembentukan daerah otonom baru yang terdiri dari 13 Provinsi, 44 Kabupaten, 10 peningkatan status wilayah pembantu kabupaten, 24 peningkatan status kota administratif dan lima usulan pembentukan kota. Ketiga belas provinsi tersebut adalah  Banten, Gorontalo, Bangka, Madura, Tapanuli, Bima, Flores, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Maluku Tenggara, Ketapang, dan Luwu Raya. Sumbawa yang didengungkan ternyata Bima yang muncul. Ada apa di balik ini ? konflik mulai ditoreh.

Pernyataan tersebut, melahirkan konflik antar elit dalam pulau Sumbawa yang sama-sama telah menyatukan tekad memperjuangkan keterbentukan propinsi pulau Sumbawa. Tarik ulur kepentingan elit antar etnis Samawa dan Bima mulai terjadi. Penentuan letak ibu kota propinsi menjadi titik permasalahan. Kodya Bima diuntungkan secara praturan karena telah memiliki Kota Madya sedangkan pada wilayah kabupaten Sumbawa belum terdapat Kota Madya. Perebutan calon ibu kota propinsi mengakibatkan ketidak harmonisan hubungan pemerintahan Sumbawa besar dan Bima. Puncak dari sikap dingin ini adalah terjadinya boikot jalan yang dilakukan masyarakat sumbawa terhadap kendaraan umum maupun pribadi yang menuju Bima dan sebaliknya. Berbuntut terjadinya bentrok masyarakat Bima dan masyarakat Sumbawa di camp pekerja PT Newmont Nusa Tenggara batu hijau sumbawa yang menewaskan 3 orang dan puluhan korban lainnya luka-luka dari kedua pihak pada tahun 2003.[19] Pada tanggal 16 september 2006 dimotori oleh Putri Sultan Bima yang juga Ketua Umum Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S), Hj.Siti Maryam Rahmat melakukan pertemuan di pantai Lakey kab Dompu yang dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota Bima dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali. Dari pertemuan tersebut disepakati tentang ibu kota propinsi pulau sumbawa yaitu di sumbawa besar, demi menjaga stabilitas masyarakat pulau sumbawa. Dari pertemuan segitiga etnis Mbojo tersebut (Kab Dompu, Bima dan Kota Bima) dilanjutkan dengan Pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa yang berlangsung Minggu pagi 20 November 2006, merupakan momen bersejarah bagi perjuangan Pembentukan Provinsi pulau Sumbawa (PPS). Betapa tidak, pada pertemuan di  Sumbawa tersebut, menjadi ajang persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi daerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Nota persetujuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR Kabupaten Sumbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamdan Zulva.

Persoalan tidak berakhir sampai disitu, masyarakat Lombok (sasak) menanggapi sinis atas nota persetujuan dalam rangka pembentukan propinsi pulau sumbawa. Celah demi celah dimasuki, rentetan aksi serta peristiwa etnis yang terjadi di NTB tidak terlepas dari ketidak relaan Lombok melepas Sumbawa dalam kesatuan provinsi NTB. Mulai dari tersendat-sendatnya pemekaran Lombok Utara dan Kota Selong hingga saat ini. Jika kita merunut pada perundang-undangan yang berlaku, provinsi induk (NTB) minimal harus memiliki lima kab/kota. Keterkaitan penikaman saudara Ridwan, salah seorang mahasiswa IKIP mataram asal Bima juga merupakan buntut kesinisan masyarakat sasak.[20]

Pada saat Pilgub NTB tahun 2003, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur NTB adalah Harun Al Rasyid keterwakilan dari etnis Mbojo dari kabupaten Bima dan kembali mencalonkan diri. Dinamika proses pemilihan gubernur NTB menjadi momentum rivalitas antar etnis. Pilgub tahun 2003 dimenangkan oleh Lalu Srinate yang berasal dari etnis Sasak, yang bagi sebagian orang Bima mengatakan bahwa kemenangan L. Srinata menjadi jargon kemenangan etnis Sasak.[21] Beberapa tulisan ditembok maupun spanduk menghujat etnis Mbojo (Bima) disertai dengan berbagai cacian dan umpatan yang menyakitkan, tentunya dengan menggunakan bahasa Sasak. Mataram bergejolak, walau itu tidak sampai menimbulkan keributan yang signifikan karena aparat kepolisian sigap dalam membaca kondisi. Masalah tidak sampai disitu, konvoi sepeda motor yang mengolok-olok masyarakat Bima yang tinggal di Lombok (khususnya Mataram) oleh masyarakat lombok kian berani. Puncak dari suasana tersebut adalah terjadinya bentrok antara mahasiswa Pertanian UNRAM yang didominasi mahasiswa Bima, Dompu dan Sumbawa (semuanya dari pulau Sumbawa) dengan Mahasiswa Tekhnik UNRAM yang didominasi oleh Mahasiswa Lombok dan Bali. Bentrokan ini berimbas pada pemboikotan transportasi Bima-Mataram dan begitupun sebaliknya. Mataram mencekam selama 2 hari. (Kilas, 29/5)[22] Dalam struktur birokrasi pemerintahan provinsi juga terkena imbas, para pejabat teras yang menempati kursi Kanwil, Kadis, Badan maupun kabag khususnya etnis Mbojo dan Samawa dimutasi secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan alasan penyegeran roda kepemerintahan.[23]

Diskriminasi sukuisme dimulai, Masyarakat Bima (Mbojo) mengadakan acara halal bihalal di Jakarta pada mei 2002. disela acara halal bihalal yang diselenggarakan oleh Komunitas Lamba Rasa juga membahas kesiapan serta kesepakatan masyarakat Bima untuk terus memperjuangkan provinsi Pulau Sumbawa dengan kesepakatan bahwa ibu kota provinsi berada dikota Bima sesuai dengan salah satu ketentuan UU, bahwa ibu kota propinsi harus berada dalam wilayah kota madya. Prof. Dr (alm) Affan Gafar menyatakan bahwa sudah saatnya kita membangun tanah kelahiran kita sendiri oleh diri kita sendiri. Lombok awalnya bukan bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat, namun dari Sunda Kecil (Bali) karena sama-sama etnis sasak.[24]

Tak disangka, pernyataan almarhum Prof.Dr Afan Gaffar mengundang reaksi serius dari masyarakat sumbawa. Hal ini juga dipicu oleh pernyataan Mendagri dan Otonomi Daerah, Suryadi Sudirja bahwa salah satu daerah yang merupakan daerah otonom baru adalah Bima, bukan Sumbawa. Politik mulai merasuki sendi perseteruan etnis ini. Dalam menganggapi hal tersebut Arif hidayat, pencetus Sarasehan nasional masyarakat Pulau sumbawa di bandung pada awal 2001 lalu segera menyelenggarakan Kongres Rakyat Sumbawa di kec Alas yang dihadiri ribuan warga. Kesepakatan yang dicapai adalah, ibu kota propinsi yang akan dibentuk harus di Sumbawa Besar.

Pada Pilgub langsung NTB 2008 ini, politik etnisitas semakin menguat. Ketiadaan wakil dari etnis Mbojo (Bima dan Dompu) serta kewajiban bagi Cagub dan Cawagub untuk menandatangani persetujuaan pemekaran propinsi semakin meningkatkan eskalasi kegentingan sosial di NTB.Tidak diakomodirnya Sumber Daya Manusia (SDM) asal Bima dan Dompu sebagai Calon Wagub NTB periode 2008-2013, melahirkan kekecewaan dari masyarakat suku Mbojo ini. Hujatan sengitpun terlontar yang tak patut untuk disimak dan didengarkan.[25] Warga Mbojo membereikaan ultimatum 100% Golput karena pilgub 2008 tidak bernuansa NTB, melainkan pilgub Lombok. Sikap dan pernyataan itu, bukan saja berlaku dikalangan masyarakat biasa. Tetapi, juga muncul di kalangan elit termasuk pihak akademisi.[26] Isu golput sebagai sebuah isu antara melahirkan sebuah tuntutan baru bagi masyarakat suku Mbojo yaitu percepatan pemekaran propinsi pulau Sumbawa. 2 opsi yang diberikan oleh masyarakat suku Mbojo yaitu Golput atau percepatan pemekaran memepengaruhi relasi kuasa anta relit yang sedang bertarung dalam pilgub NTB. Pasangan cagub dan cawagub yang seluruh calon gubernurnya berasar dari etnis sasak dan seluruh wakilnya berasal dari etnis Samawa dipaksa untuk membuat kontrak politik persetujuan percepatan pemekaran jika mereka terpilih. Masyarakat Sumbawa sendiri mengeluarkan ultimatum boikot Pilgub 2008 jika para calon tidak memiliki itikad baik untuk memepercepat pemekaran propinsi pulau Sumbawa, sebagaimana dikatakan oleh Amir Jawas tokoh Sumbawa di Jakarta yang sedari awal memperjuangkan pemekaran.

“Masyarakat Pulau Sumbawa wajib boikot PILKADA NTB jika Calon Gubernur yang sekarang ini tidak punya niat ikhlas untuk mendukung berdirinya Propinsi Pulau Sumbawa. Pertimbangannya adalah kalau Gubernur yang terpilih berasal dari Pulau Sumbawa dijamin akan tetap memperhatikan Pembangunan di Pulau Lombok tapi kalau Gubernurnya dari Pulau Lombok yah contoh seperti sekarang ini. Pembangunan di Pulau Sumbawa dianak tirikan misalnya  infrastruktur dibidang transportasi dan kesehatan sangat jauh dari yang seharusnya. padahal Sumber Daya Alam emas dan perak yang dikeruk dari wilayah Pulau Sumbawa jumlahnya sangat fantastis dan mampu untuk mengratiskan seluruh anak pulau Sumbawa kemana”

Berlarut-larutnya realisasi pemekaran propinsi Sumbawa, di tengah situasi masyarakat yang sudah mulai menemukan titik kulminasi kesadaran yang diakibatkan oleh ketidakjelaqsan elit dalam merasionalkan situasi tentu akan berakibat fatal. Fakta nyata yang bisa membangkitkan emosi massa adalah rusaknya 70 % infra struktur jalan di seluruh pulau Sumbawa akan menjadi lahan kering bagi penumpahan emosi massa. Tarik ulur kepentingan elit yang tidak mapu diakses oleh massa hanya akan melahirkan konflok horizontal antar masyarakat, etnis dan juga akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat atas keterwakilan kaum elit. Karakter masyarakat pulau sumbawa, yang akibat penempaan kondisi geografis yang panas dan bebatuan bisa melahirkan konflik yang lebih dahsyat dibandingkan dengan konflik yang pernah terjadi di Sulawesi Barat maupun peristiwa yang terjadi Maluku Utara baru-baru ini. Titik kejenuhan para masyarakat akan sikap para elite yang yang masih tarik ulur kepentingan dalam proses pemekaran propinsi akan membuahkan pengkristalan kekecewaan masyarakat yang berakibat pada apatisme massa dalam menilai setiap kebijakan pemerintah yang tentunya juga akumulasi dari itu semua bisa berbuntut pada pengrusakan, kerusuhan, perang antar kampung yang berbeda etnis dan lain sebagainya.

IV. KESIMPULAN

Dinamika relasi antar elit di pulau Sumbawa dan NTB pada umumnya semakin mengkristal setelah menggelindingnya isu pemekaran. Isu yang awalnya lahir dari euforia politik setelah kotak pandora orde baru dibuka kemudian disambut oleh para elit politik dan menjadikan politik identitas sebagai basis dialektika. Fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan dan etnisitas sedemikian rupa mempengaruhi isu pemekaran dikarenakan masalah pemekaran berhubungan dengan demotion dan promotion bagi eksistensi kelompok elit tertentu. Bagi elit isu pemekaran propinsi Sumbawa layaknya dua keping mata uang, di satu sisi isu pemekaran merupakan ruang perebutan relasi kuasa, yaitu ruang untuk menjaga legalisasi pemerintah atas diri dan basis etnisitasnya melalui penguasaan kursi legislatif dan eksekutif. Di sisi yang lain, kegagapan cara pandang masyarakat etnis dalam masing-masing suku di pulau Sumbawa tentang konsepsi elit-nya yang mulai kabur akibat degradasi sistim modern dan demokrasi, menjadikan siapapun yang mampu merebut ruang kekuasaan negara dan menjadi elit politik, juga akan mendapatkan legitimasi ke-elit-an dalam sistim kultural etnis. Pemekaran propinsi Sumbawa merupakan keharusan, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan publik dan mendapat dukungan besar dari seluruh masyarakat pulau Sumbawa. Situasi tersebut menjadi lahan subur bagi elit untuk merebut relasi kuasa. Simbiosis antara keinginan kuat dari masyarakat untuk melakukan pemekaran dengan kepentingan elit untuk memperluas ruang kuasa menemukan coomon destination, yaitu pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan menjadikan politik etnisitas menjadi senjata yang sangat massif digunakan oleh elit lokal sebagai alat negosiasi politik. Dampak negatifnya adalah dengan mengedepankan politik identitas masyarakat dalam negosiasi politik dapat melahirkan benih konflik horizontal. Semoga proses pemekaran pulau Sumbawa dengan selalu mengintrodusir politik identitas di saat pesta demokrasi, pilkada, pilgub dan pemilu tidak mengarah pada konflik horizontal antar etnis.

DAFTAR RUJUKAN

Abdillah S, Ubed, 2002, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Yayasan Indosiatra, Cetakan pertama, Magelang

Ali Mocchsan Musa, 1999,Kyai Dan Politik Dalam Wcana Civil Society, Surabaya, LeppKISS

Ardiana, I Ketut, 2005, Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

Budiarjo, Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa, Puataka Sinar Harapan, Jakarta,

Harrirs, Peter dan Reilly, Ben, 2000, Demokrasi Dan Konflik Yang Mengakar, Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, IDEA Internasional

Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar, PLOD UGM, Yogyakarta

Keller, Suzanne, 1995, (diterjemahkan oleh Zahara D. Noer), , Penguasa dan Kelompok Elit : peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

Kalimati, Wahyu Sunan, 2005, Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Sumbawa Barat.

Miall, Hugh, Ransbotan, Woodstone, Tom, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, Dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama Dan Ras, Raja Grafindo Persada Jakarta

Download Internet

Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/

http://www.kompas.com/

http://www.sumbawanews.com

www. sumbawanews.com

Harian Lombok Post

Dokumen Dan Artikel

BPS NTB 2006

HU Ganung NTB

Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan Kepentingan”,

Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan Kepentingan”,

Suara NTB

Lombok Post

Data Litbang Sumbawanews.com

Proposal Pengajuan Naskah Akadameik Kelakan Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Versi KP3S

Data Arsip Rapat, Penetapan Pengurus, Penyusunan Agenda, Pertemuan-pertemuan Tim KP3S

* Poetra Adi Soerjo S.Sos.I, M,A Alumni pasca sarjana Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini dilakukan dalam rangka Seminar International Percik ke 9 di kampung Percik Salatiga pada tanggal 15 Juli 2008.

[1] Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/75/02ktp_nnk75.pdf. Di akses tanggal 18 November 2007.

[2] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/30/Politikhukum/1355443.htm. Diakses tanggal 18 November 2007

[3] http://www.sumbawanews.com Diakses tanggal 19 November 2007

[4] Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar, PLOD UGM, Yogyakartahal 134 -145

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun