Suatu sore,aku mencoba menemani anakku yang bernama Icha yang masih berumur 9 tahun. Saat itu, sedang membaca buku sejarah pahlawan Indonesia. Akan tetapi, saat itu terlihat malas membaca. Seperti biasa jika ia bertingkah laku seperti itu aku mencoba membujuknya dengan dengan berbagai janji. Namun, saat itu Icha justru menagihku untuk bercerita tentang fabel ataupun kisah kepahlawanan. Sungguh, saat itu aku sudah tidak punya andalan cerita karena stock perbendaharaan ceritaku sudah habis kuceritakan kepadanya. Entah mengapa secara tiba-tiba aku ingin menceritakan kisah yang dahulu kuingat semasa sekolah di SMA. Akhirnya, aku teringat dengan salah seorang guru SMA-ku dahulu, yaitu Pak Yaya Aman Surya. Dia adalah guru mata pelajaran sejarah. Dia-lah yang selalu memberikan motivasi kepadaku semasa SMA dulu. Harapanku, dengan cerita ini. anakku termotivasi untuk membaca buku.
Begini cerita yang kusampaikan kepada anakku:
Saat itu, ada seorang siswa yang bernama Udi Sukrama. Ia termasuk anak yang rajin tidak, malaspun tidak; nakal tidak, pendiam pun tidak; sangat pintar pun tidak, bodoh pun tidak. Suatu hari, saat pelajaran sejarah aku asik mengobrol dengan seorang teman yang bernama Wahyudin. Saat itu, guru sejarahku yang bernama bapak Yahya Aman Surya sedang menjelaskan tentang sejarah dunia. Saat itu, dibentangkan pula peta dunia di papan Board. Entah mungkin sedikit kesal melihatku kasak kusuk ngobrol,...tiba-tiba ia berkata "Coba Udi maju kedepan dan tunjukkan negara mana ini?" berkata bapak guru yang memiliki cirri khas berkumis tebal mirip Rano Karno atau Adam (Suami Inul Daratista) itu kepadaku sambil menunjukkan sebuah negara kecil yang ada di Benua Amerika. Aku sontak terhenyak plus sedikit bingung. Namun aku tak kehabisan akal, aku mengulur-ulur waktu hingga waktu istirahat tiba seperti layaknya pemain bola menjelang injuri time. Akhirnya, waktu istirahat tiba. Namun demikian, aku tidak merasa bersenang diri karena seperti biasanya Pak Yaya selalu memanggil dan menayakan kembali pada keesokan harinya. Sebelum keluar kelas untuk istirahat, aku penasaran terhadap peta yang ditunjuk tadi oleh Pak Guru terlihatlah samar-samar kata "Bolivia".
Setelah istirahat usai, ternyata guru pelajaran Bahasa Indonesia tidak masuk karena sakit dan dilanjutkan kembali pelajaran sejarah.
“Duh, Gustiiiii!! Pasti aku ditanya lagi nih…” dalam hatiku.
Ternyata perkiraanku tidak meleset, ia memanggilku kembali untuk menjawab pertanyaan yang ia berikan. Untungnya, aku masih mengingat negara tersebut hingga kukatakan dengan penuh keyakinan.
“Itu negara Bolivia, Pak,” ucapku dengan tenang.
Tiba-tiba, anakku memotong ceritaku."Stop, Yah!!! Emangnya guru ayah itu kumisnya tebal,setebal apa yah?" tanya Icha.
Aku menjawab:"Seperti ini nih," sambil memeragakan spidol maker hitam yang kupasang di atas bibirku.
Icha pun tertawa, kemudian aku melanjutkan ceritaku semasa sekolah dahulu.
Icha pun kubiarkan memberikan kesimpulan gambaran ayahnya masa itu bahwa ayahnya sedikit malas dan bandel maka mendapat kejutan dari guru berkumis tebal itu. Akhirnya, Icha mau membaca buku sejarahnya kembali karena tidak mau bernasib sama seperti ayahnya memdapat kejutan tak terduga dari seorang guru, meskipun gurunya tidak berkumis tebal.
Setelah kuceritakan kisahku ini, aku mulai menyadari bahwa waktu terasa cepat. Serasa baru kemarin aku lulus SMA. Tak terasa waktu telah berlalu belasan tahun lamanya meninggalkan SMA. Aku menyembunyikan pandanganku di hadapan wajah anakku agar tidak melihat mataku yang berkaca-kaca. Dalam hatiku pun berkata “Terima kasih guru-guruku…”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H