Mohon tunggu...
Suhana Lim
Suhana Lim Mohon Tunggu... lainnya -

Writer, Feng Shui, Traditional Chinese Martial Arts, Reiki & Psychosomatic Practitioner

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir & Feng Shui Kepala Lele

11 Februari 2015   13:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir & Feng Shui Kawasan Kepala Lele

Oleh: suhanalimfengshui.com

Setiap melakukan indo trip, manakala schedule memungkinkan, saya sebisanya menyempatkan buat take a stroll down memory lane alias menapak tilasi kawasan yang pernah dilalui. Especially kawasan-kawasan yang sering dilalui dulu. Ada yang masih familiar, tak sedikit yang sudah berubah total sampai bikin saya pangling. Tapi satu hal yang rata-rata sama dari semua kawasan ialah rumah-rumah nya sudah pada di tinggikan. Bahkan banyak yang karena diurug nya extreme sehingga sudut kemiringan dari jalan ke pintu rumah sangat curam. Keluar masuk kendaraan pasti ngak mudah.

Memang dapat dimaklumi kalau semua orang melakukan upaya SDM (Selamatkan Diri/Rumah Masing-Masing). Soalnya Jakarta sudah langganan kebanjiran. Konon mulai dari masih disebut Batavia dulu , ibukota selalu rajin disambangi oleh genangan air setiap tahun. Yang membedakannya kadang si banjir dateng berame-rame sama banyak teman atau kadang sedikit.

Kawasan yang jadi langganan banjir berganti-ganti. Biasanya karena faktor pembangunan di kawasan sekitar. Walau masterplan kota ada, tapi para owner rumah hingga pihak pengembang saling berlomba-lomba buat mengamankan rumah dan wilayahnya masing-masing. Pada lomba mengurug meninggikan rumah dan perumahan masing-masing. Jadilah kesemerawutan lingkungan terjadi. Tempat ngumpul banjir tiap tahun pun berganti-ganti, tergantung bagaimana sikon saat terjadinya. Jangan heran kalau kawasan yang di promosikan sebagai daerah “kepala naga” pun berubah jadi “kepala lele atau belut” karena sering kerendem banjir.

Tanpa ada kesadaran dan kepedulian semua stakeholder untuk menjaga dan merawat, maka sebaik apapun suatu wilayah/kota tidak akan banyak manfaatnya. Percuma saja rumah dan area sekitar tidak kebanjiran tetapi begitu keluar kompleks maka ngak bisa bergerak. Bukankah ibaratnya kita seperti jadi “tahanan” yang tidak bisa leluasa beraktivitas.

Kaidah utama dalam feng shui ialah keharmonisan/keselarasan dan keseimbangan. Tentu ini juga mencakup hal mengharmonisasikan diri dan bangunan dengan lingkungan sekitar. Memang bisa saja kita membangun rumah model yang kita suka. Gua punya uang koq. Tapi rumahnya akan jadi aneh sendiri karena tidak blend in dengan suasana sekitar. Belum lagi running cost nya akan membeludak. Bayangkan saya mendesign bangunan, yang sebenarnya lebih pas buat di daerah dingin, di kawasan yang panas. Atau sebaliknya.

Kelola sebuah kawasan yang lebih rendah dari permukaan sungai atau laut tentu akan cost lebih mahal karena misalnya biaya operasi memompa air agar kawasan tetap kering. Menempatkan outlet heater di langit-langit juga lebih mahal karena naturally hawa hangat/panas mengalir dari bawah keatas. Outlet AC di tengah atau di dasar juga akan lebih sulit karena prinsip hawa dingin yang dari atas turun kebawah. Masih banyak lagi contoh kerugian (lebih mahal) untuk lifestyle yang “melawan” alam.

Sehebat-hebatnya dan seenak-enaknya prinsip menaklukan alam/ menguasai lingkungan, akan lebih enak dan less capek dan less costly kalau kita bisa mengharmonisasikan diri dan kehidupan dengan nature.

Suatu bangunan, kawasan, kota bahkan negara yang naturally baik feng shui nya, tapi kalau manusia yang mengelola nya tidak baik, apalagi cenderung (secara sadar atau tidak) merusaknya, maka kawasan atau negara tersebut pun jadi tidak mendapatkan benefit yang maksimal (dari status ramah feng shuinya). Jadi jangan naïf dan berleha-leha menganggap dengan tinggal di bangunan atau kawasan yang ramah feng shui maka bisa seenak udelnya memperlakukan bangunan dan lokasinya. Tidak peduli dengan lingkungan (buang sampah seenaknya, bangun tanpa memerhatikan lingkungan, etc), berprinsip SDM (Selamatkan Diri/Rumah Masing-Masing), maka siap-siap lah untuk selalu disambangi oleh banjir. Kawasan Kepala Naga pun bertransformasi menjadi kawasan Kepala Lele!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun