Mohon tunggu...
Sugianti bisri
Sugianti bisri Mohon Tunggu... Teacher -

Teacher,blogger,fiksianer,kompasianer, simple woman, and happy mommy

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Zaman Memberi Tugas Merangkum Materi?

4 Januari 2016   23:54 Diperbarui: 5 Januari 2016   00:15 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari pertama sekolah, Grup BBM anak-anak yang saya ikuti sudah diramaikan dengan berbagai celotehan. Liburan yang belum segera ingin berakhir. Masih pewe dengan keluarga besar di kampung. Cerita semasa liburan selama dua minggu dan PR yang mulai menyapa di awal pembelajaran.

"Wah...sepertinya sudah siap sekali guru yang mengajar di kelas ini". Pikirku dalam hati. Setelah menyimak cukup lama tanpa ikut berkomentar, hemmmm.........Tugas meringkas dari halaman sekian sampai sekian. He..he... Masih zaman ya pak? Masih kekinian ya bu, memberi tugas anak-anak dengan membuat rangkuman?

Pertanyaan ini seketika berkelebat dalam pikiran saya. Aya-aya wae nih guru. Apakan tugas anak-anak ini akan bapak ibu nilai. Apakan bapak ibu mampu membaca apa yang mereka tulis dalam rangkuman tersebut? Dan bagaimana alat ukur penilaian tugas tersebut?

Saya pribadi sudah menyerah jika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya tidak mempunyai kemampuan membaca satu persatu apa yang mereka tulis. Memang secara garis besar kita bisa menyimpulkan, pastilah apa yang anak-anak tulis isinya sama. Namun apakah bapak-ibu bisa menjamin kalau tidak ada keusilan anak-anak untuk mengetes apakah bapak ibu konsisten dengan tugas yang dibebankan pada mereka.

Saat saya masih duduk di SMA dulu, saya merasa BETE jika ada guru yang memberi tugas merangkum. Saban tatap muka di kelas hanya memberi tugas untuk membaca dan meringkas materi. Alhasil dalam satu semester buku catatan saya penuh dengan rangkuman setiap materi. Boro-boro mau dikasih nilai, diberi paraf pun tidak. Setiap akhir pelajaran memang apa yang ditugaskan disuruh kumpul pada hari itu juga. Namun begitu ada jadwal kembali di minggu berikutnya, tidak ada tanda-tanda kalau buku saya tersentuh tangan lain.

Keisengan pun muncul. Saya menuliskan beberapa kalimat di tengah-tengan rangkuman yang saya buat. "Jari mulai keriting nih bu. Perut mules pengen ke belakang. seharian ini kalau ga ngerangkum, suruh mencatat di papan tulis" dan kalimat-kalimat yang lain yang tiba-tiba muncul di kepala saya. Seperti dugaan saya, sampai saya selesai SMA pun ga pernah ketahuan sama tuh guru. Padahal saya diajar 3 tahun karena memang dia guru satu-satunya yang mengampu mata pelajaran tersebut.

Ruapanya setelah belasan tahun bahkan dari generasi ke generasi, yang namanya tugas MERANGKUM itu tetap abadi. Meskipun saat ini pendidikan telah diwarnai dengan teknologi komunikasi dan informasi, masih ada saja model atau gaya mengajar yang seperti itu.

Semoga saja, anak-anak sekarang tidak lebih usil dari saya dan beberapa teman yang lain. Semoga apa apa yang diperintahkan oleh bapak ibu gurunya benar-benar dipatuhi dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu. Dan harapan tertinggi saya untuk guru yang masih kenal gaya mengajar seperti itu, semoga konsisten dengan tanggung jawabnya. Hargai hasil belajar anak-anak, meskipun tidak sempat untuk membaca satu-persatu, dilihat dari jumlah lamannya saja pak...bu. Kalau panjang nilainya tinggi kalau singkat nilainya rendah. Ups.....namanya kan merangkum pak,bu. Kok penilaiannya begitu? He..he... Salam mendidik deh. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun